Indonesia merupakan salah satu kekuatan dunia pada nomor speed panjat tebing. Per Juli 2023, Timnas Panjat Tebing Indonesia masih menempati peringkat pertama untuk gabungan poin kategori speed putra dan putri.
Berdasarkan data terakhir pasca-Piala Dunia Panjat Tebing IFSC 2023 di Chamonix, Prancis, 7-9 Juli, Indonesia mengoleksi 17.595 poin, disusul China (15.820) dan Polandia (9.696) di peringkat tiga besar.
Perolehan poin Indonesia didapat dari nomor speed putra, 9.230 poin, yang menghuni posisi pertama pada kategori tersebut dan sumbangan 8.365 poin dari speed putri yang menempati posisi kedua.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bakat Indonesia di nomor speed tidak perlu diragukan lagi. Pada 2023, Indonesia menjadi 'juara' pada kategori ini dengan 11.300 poin, unggul jauh atas China (7.638) dan Amerika Serikat (7.403).
Catatan apik Indonesia menjadi nomor satu di nomor speed dunia nyatanya dimulai pada 2021 saat mengumpulkan 503 poin dalam periode tersebut, berdasarkan situs resmi IFSC.
Lantas mengapa Indonesia begitu jago di nomor speed, mengungguli negara-negara Asia lain dan juga Eropa yang lebih dulu memainkan kategori ini?
Pelatih Timnas Panjat Tebing Indonesia Hendra Basir mengatakan Indonesia jago di nomor speed karena tidak memiliki kendala dengan jalur yang berubah-ubah dan hanya fokus dalam meningkatkan kecepatan atau catatan waktu.
"Di speed itu tinggal fokus upgrade atletnya. Kalau di lead dan boulder, upgrade atlet tidak terpisah dengan variabel lain," ujar Hendra Basir.
Nomor lead dan boulder memang bergantung pada point (pijakan) atau jalur memanjat yang selalu berubah di setiap kejuaraan. Dengan begitu pemanjat-pemanjat Indonesia harus terbiasa dengan perkembangan point dan jalur lead atau boulder tersebut.
Hendra menuturkan, baik nomor speed, lead, maupun boulder tidak jauh berbeda jika dilihat dari pola latihan. Hal ini juga terjadi di setiap negara.
"Sebenarnya sama saja, pola latihan sama. Kenapa kita belom jago di lead? Itu perbedaan variabel pendukung, kalau di speed kita tinggal 'gas' saja, faktor eksternal tidak terlalu mempengaruhi lagi," kata Hendra.
Hendra menyebut untuk menang atau berprestasi di nomor speed, setiap atlet perlu meminimalisir atau menghindari sejumlah error, misalnya diskualifikasi karena tidak menekan sensor kaki, atau terlalu cepat bergerak sebelum waktunya.
Ini tentu bukan hal yang mudah karena saat memanjat, seorang atlet juga bukan tanpa kesalahan. Atlet dituntut harus membagi konsentrasi antara terus memacu naik ke atas dengan memantapkan pegangan dan juga gerakan kaki.
Dengan fokus yang meleset sedikit saja, bukan tidak mungkin membuat kaki kehilangan pijakan dan jari kehilangan pegangan. Hasilnya kalah cepat dalam memencet bel di puncak.
![]() |
Bukan hanya faktor track wall climbing yang tidak pernah berganti, atlet-atlet Indonesia jago di nomor speed panjat tebing karena faktor mental.
Mantan atlet panjat tebing putri Evi Neliwati mengatakan atlet-atlet Indonesia memiliki daya juang yang lebih bagus ketimbang negara lain di Asia Tenggara.
Saat ditemui di pemusatan latihan panjat tebing Indonesia di Bekasi, Jawa Barat, Evi menyebut atlet-atlet speed Indonesia berani berkorban banyak. Atlet-atlet Indonesia di mata Evi juga punya keinginan kuat untuk juara.
Sebelum IFSC rutin menggelar Piala Dunia nomor speed, atlet-atlet panjat tebing Indonesia banyak bertanding dan berprestasi di event X Games yang diselenggarakan ESPN.
"Di Asia Tenggara masih kurang atletnya [speed], waktu SEA Games 2011 itu kita pakai atlet lapis kedua atau lapis ketiga, menang semua," ucap Evi.
Dari sudut pandang peraih emas Kejuaraan Asia 2004 di Korea Selatan ini, salah satu yang membuat atlet speed Indonesia unggul jauh adalah, atlet negara-negara Asia Tenggara atau beberapa negara Asia lain tidak berani tampil di kejuaraan bergengsi.
Secara postur dan kemampuan, atlet-atlet Indonesia sama dengan negara Asia Tenggara dan negara Asia. Begitu juga dengan kemampuan finansial federasi atau komite olahraga di negara-negara tersebut dalam memfasilitasi atletnya.
"Mereka jarang ikut. Kekompakan tim mereka kurang, di kita kekeluargaan masih tinggi. Kita ini berani survive, berani lapar," tutur Evi yang meraih emas di Piala Dunia UIAA 2006 di Singapura.