Jakarta, CNN Indonesia --
Tim Badminton Indonesia gagal meraih gelar di China Open yang merupakan turnamen kategori Super 1000. Kondisi ini menjadi bukti terkini Tim Badminton Indonesia kesulitan saat berlaga di turnamen elite.
Dalam tataran BWF Tour, BWF telah membagi turnamen per kategori. Turnamen level Super 1000 adalah kategori tertinggi di luar major event. Di tahun ini, ada empat turnamen Super 1000 yaitu Malaysia Open, All England, Indonesia Open, dan China Open.
Dari empat turnamen tersebut, alias total 20 gelar yang ada, Indonesia hanya mampu menyabet dua gelar juara. Dua gelar itu semuanya direbut lewat tangan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto di ajang Malaysia Open dan All England.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Otomatis setelah itu Indonesia berarti puasa gelar di Indonesia Open dan China Open. Selain Fajar/Rian, ada dua wakil lainnya yang mampu menembus final Super 1000 namun jadi runner up yaitu Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan (All England) dan Anthony Ginting (Indonesia Open).
Untuk turnamen kategori Super 750 yang merupakan level kedua, peruntungan Indonesia tidak banyak berubah. Dari tiga turnamen yang sudah digelar alias total 15 gelar, Indonesia hanya sanggup meraih satu gelar lewat Ginting di Singapore Open.
Sedangkan di level Super 500, Indonesia juga tak banyak berkutik. Kemenangan Jonatan Christie dan Leo Rolly Carnando/Daniel Marthin di Indonesia Masters tidak disusul kemenangan-kemenangan pada turnamen kategori Super 500 berikutnya.
Bahkan untuk level Super 300, Indonesia juga hanya sanggup mengumpulkan tiga gelar lewat Leo/Daniel (Thailand Masters), Gregoria Mariska Tunjung (Spain Masters), dan Chico Aura Dwi Wardoyo (Taipei Open).
Situasi makin terasa bahaya bila melihat bahwa gelar-gelar itu mayoritas didapat pada paruh awal tahun ini alias sebelum Race to Olympics dimulai. Jika menempatkan batas jumlah gelar begitu Race to Olympics dimulai, hanya Ginting (Singapore Open) dan Chico (Taipei Open) yang masuk di dalamnya.
Ditambah Indonesia juga tak dapat gelar di Kejuaraan Dunia, makin lengkaplah sudah situasi krisis yang sedang dialami Indonesia.
Baca lanjutan berita ini di halaman berikut >>>
Di tengah Race to Olympics, perbedaan turnamen Super 1000 dengan Super 500 mungkin hanya tipis-tipis saja karena bakal banyak pemain top yang tetap turun gunung untuk meraih poin. Namun merujuk gambaran yang ada, Indonesia jelas makin tak berdaya seiring BWF Tour yang terus bergulir di paruh kedua tahun 2023.
Catatan buruk ini wajib dihentikan lantaran akan banyak kerugian-kerugian yang timbul bila periode suram terus dibiarkan berjalan tanpa pencegahan.
Dampak buruk yang nyata jelas adalah alokasi wakil Indonesia ke Olimpiade. Bila performa buruk ini terus berlanjut, Indonesia mungkin hanya bisa mengirim lima wakil ke Olimpiade alias satu wakil per nomor.
Nomor tunggal putra jadi nomor yang paling berpeluang mengirim dua wakil karena syarat meloloskan dua wakil adalah kedua pebulutangkis ada di 16 besar. Sedangkan untuk nomor ganda putra, situasi bakal jadi lebih berat karena kedua ganda harus berada di zona delapan besar.
Semakin dikit wakil yang berangkat ke Olimpiade, beban tiap wakil akan terasa semakin besar. Otomatis hambatan untuk merebut medali emas pun makin bertambah.
Dampak lainnya dari jebloknya prestasi pebulutangkis Indonesia adalah krisis percaya diri yang perlahan menggerogoti. Fajar/Rian yang jadi pemain paling diandalkan di paruh awal tahun ini terlihat mengalami hal tersebut.
Terlepas persaingan di nomor ganda putra yang makin ketat, kekalahan di babak awal yang dialami Fajar/Rian di beberapa turnamen, termasuk Kejuaraan Dunia dan China Open, ikut menambah berat langkah mereka pada turnamen-turnamen berikutnya.
Sedangkan pemain-pemain lain di luar Fajar/Rian saat ini bahkan masih belum mampu menyentuh level Fajar/Rian di awal tahun. Kondisi ini makin memperberat tekanan yang ada pada Fajar/Rian karena mereka sadar sebagai pemain Indonesia dengan peringkat tertinggi di ranking BWF saat ini.
Di tengah keterpurukan Tim Badminton Indonesia, sejatinya ada wakil yang menunjukkan grafik meningkat seperti Bagas Maulana/Muhammad Shohibul Fikri dan Apriyani Rahayu/Siti Fadia Silva.
Karena itu di tengah waktu persiapan yang terbatas lantaran para pemain bergerak dari turnamen ke turnamen, hal yang paling bisa diasah adalah aspek psikologis. Para pelatih harus bisa meyakinkan para pemain agar kemampuan terbaik bisa keluar saat berlaga di lapangan.
Hasil turnamen yang telah lewat tak lagi bisa diubah namun turnamen-turnamen yang ada di depan mata masih punya peluang untuk dimenangkan. Baik itu oleh Fajar/Rian, Bagas/Fikri, Apri/Fadia, maupun pemain-pemain lainnya yang membawa nama Indonesia di punggung mereka.
[Gambas:Video CNN]