Bulu tangkis merupakan salah satu dari sekian banyak olahraga yang dikenalkan Papa, Aris Harsono, sejak saya masih kecil.
Saya pilih lebih giat tepok-tepok shuttlecock karena terbilang ringkas, cuma butuh raket dan kok. Sering dulu waktu saya masih kecil, sehabis pulang sekolah langsung main badminton di halaman rumah. Sementara kalau olahraga lain, seperti renang, tenis meja, atau biliar tidak bisa sesimpel itu.
Papa juga kemudian mendatangkan orang untuk mengajarkan badminton secara privat ketika saya sudah menunjukkan ketertarikan main badminton.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebetulan Papa kenal orang-orang yang bisa melatih badminton di dekat-dekat rumah. Jadi waktu saya masih kecil dulu sudah kenal dengan Koh Herry IP [pelatih ganda campuran pelatnas PBSI] dan Koh Hendry Saputra [mantan pelatih tunggal putra pelatnas PBSI]. Untuk latihan privat ini waktunya memang terbilang singkat, bukan sampai dalam momen yang lama.
Selain latihan privat, saya juga masuk klub badminton yang juga masih di area dekat rumah di Jakarta Barat seperti Aqua Puspita dan B29.
Saya benar-benar serius memilih badminton itu sekitar usia 13. Tolok ukur saya bilang 'serius' adalah karena waktu itu saya sudah tinggal di asrama.
Berjarak dua tahun dari keseriusan saya memilih badminton, pintu pelatnas PBSI di Cipayung terbuka untuk saya. Bukan secara tiba-tiba saya bisa masuk ke sana, tetapi karena perjuangan yang berbuah hasil baik di kejuaraan-kejuaraan sirkuit nasional.
Pada waktu mengikuti turnamen-turnamen itu saya rasa memang saya bermain enjoy, tidak ada beban, dan menjalani itu seperti hobi. Selain itu saya juga gengsi kalau kalah dan dari situ muncul rasa ingin selalu menang.
Jujur saya enggak punya idola waktu kecil. Kepingin menang, karena saya mau juara dan tidak mau kalah. Bukan karena mau jadi seperti pemain A atau jadi terkenal.
![]() |
Mental saya yang dulu ingin jadi juara masih terjaga sampai sekarang saya melatih. Betul kata orang, jadi pelatih lebih stres karena kita tidak melakukan sendiri, tetapi kita memberi instruksi kepada pemain yang otaknya tidak bisa di-setting.
Selain posisi yang berbeda, zaman juga berbeda. Kalau sekarang mungkin ada media sosial ada netizen yang mengkritik, tapi jangan salah dulu kalau enggak juara mana mungkin masuk Kompas atau Bola, ha ha ha.
Soal media sosial menurut saya memang sekarang lagi zamannya, sulit untuk menghindar. Satu pesan saya bagi pemain adalah siap untuk segala keadaan. Kalau enggak bisa meng-handle keadaan ketika ada yang mencaci, berarti enggak siap jadi juara di era sekarang.
Selain itu saya ingin menciptakan atlet sukses punya titel juara dengan karakter yang baik, contohnya seperti Hendra Setiawan atau Liliyana Natsir.
Sekarang saya jadi pelatih di PB Djarum. Saya masih ada di dalam dunia badminton seperti yang Papa saya inginkan. Saat ini Papa sudah 88 tahun dan saya tahu apa yang saya jalani sekarang bisa membuat beliau tenang dan menikmati hidup. Itu adalah rasa syukur terbesar sampai hari ini, masih bisa membuat Papa senang.
Mungkin bisa dibilang Papa juga yang membuat saya tetap di Indonesia meski ada tawaran dari negara lain. Tetapi buat saya, selama masih bisa berada di sini ya saya akan lakukan yang terbaik.
Kalau ada pemain atau pelatih yang sampai ke luar negeri, itu wajar saja karena enggak akan muat semua membela Indonesia dan ada kepentingan ekonomi di balik semua itu. Tetapi percaya saya, semua pemain atau pelatih Indonesia pasti ingin sekali kembali dan membela bendera Merah Putih.
(nva/har)