Pemain Panama tak terlalu terkendala cuaca. Itu poin pertamanya. Suhu udara di Panama relatif sama dengan Indonesia di kisaran 27 hingga 32 derajat celcius di musim panas.
Hal ini terbukti saat melawan Maroko. Ketika pemain Maroko yang mayoritas tinggal di Eropa sudah mulai kelelahan fisik karena suhu lembab, ketahanan fisik Panama stabil.
Pada saat yang sama ketahanan fisik pemain Indonesia melemah di akhir babak kedua. Itu terlihat dari banyaknya pemain yang keram dan mengalami cedera ringan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ini bisa jadi bahan eksploitasi. Jika fisik pemain Indonesia U-17 tidak dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin menjadi titik lemah yang berujung pada kewalahan di akhir laga.
Bima Sakti tak diam saja dengan kondisi ini. Mantan gelandang Timnas Indonesia ini berpikir keras bersama staff pelatih lainnya dan tim pendukung Timnas mencari formula jitu.
Bermain agresif di awal agar bisa unggul cepat, menjadi salah satu opsi yang kemungkinan ditempuh Bima. Jika ini yang dipilih, dominasi ball possession akan sangat menentukan.
Saat melawan Ekuador, utamanya di babak pertama, Indonesia unggul penguasaan bola dan jumlah melepas umpan. Sayang dominasi ini tak berlanjut di babak kedua.
Karenanya pula strategi rotasi bisa menjadi serum antilelah. Pemain-pemain yang Vo2 Max-nya tak terlalu tinggi dan jadi starter, bisa dipertimbangkan untuk habis-habisan selama 60 menit awal.
Ji Da Bin, Jehan Pahlevi, dan Riski Afrisal adalah beberapa pemain yang di laga sebelumnya kepayahan di babak kedua. Akselerasi dan umpan mereka menurun tak setajam babak pertama.
Postur tubuh pemain Panama juga lebih baik dari pemain Indonesia. Kemungkinan bola-bola atas akan menjadi sarana merongrong pertahanan Garuda Asia, julukan Indonesia U-17.
Set piece dari sepak pojok dan tendangan bebas Panama pun berbahaya. Bima sadar ini dan mengatakan sudah menyiapkan strategi mematikan kelebihan Panama.