Jakarta, CNN Indonesia --
Sukses Susy Susanti di era 90-an terus jadi bayang-bayang yang mengiringi perjalanan tunggal putri Indonesia di generasi-generasi setelahnya. Gregoria Mariska Tunjung yang kini jadi wajah utama tunggal putri Indonesia ikut menghadapi beban dan tekanan tersebut.
Setelah Susy Susanti merajai dunia dengan memenangkan Olimpiade, juara dunia, dan All England dalam kariernya, pertanyaan tentang kapan Indonesia memiliki tunggal putri seperti Susy Susanti terus mengemuka ke generasi-generasi setelahnya.
Mia Audina sempat jadi harapan lalu kemudian berpindah ke beberapa generasi kemudian. Pertanyaan yang sama terus diajukan. Walaupun Maria Kristin Yulianti sukses memberikan perunggu Olimpiade dan Linda Wenifanteri sempat merebut perunggu Kejuaraan Dunia, pertanyaan dan harapan terhadap tunggal putri Indonesia untuk mengembalikan kejayaan seperti era Susy Susanti tak pernah mereda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Susy Susanti selalu jadi bentuk jawaban sekaligus bukti penolakan saat ada argumen yang menyatakan 'Indonesia memang kesulitan bersaing di nomor tunggal putri di level dunia'. Susy pernah sukses melakukannya dan momen seperti itu yang diharapkan bisa kembali terulang.
Ketika Gregoria Mariska Tunjung muncul sebagai juara dunia junior, Gregoria lalu jadi pusat harapan, tumpuan, sekaligus penyandang beban. Gelar juara dunia junior jadi pertanda Gregoria Mariska punya kemampuan dan bakat besar untuk mengembalikan pamor tunggal putri Indonesia di level dunia.
Beban itu masih ditambah pada kenyataan bahwa juara dunia junior di beberapa edisi sebelumnya telah sukses besar saat Gregoria jadi juara dunia junior.
Ratchanok Intanon, Nozomi Okuhara, dan Akane Yamaguchi sudah masuk level elite ketika Gregoria juara dunia junior. Alhasil, harapan pada Gregoria pun membumbung makin tinggi.
Belum lagi fakta lainnya bahwa Gregoria mendapat pengawasan langsung dari Susy Susanti yang jadi Kabid Binpres PBSI selama periode 2016-2020. Aroma untuk segera memiliki tunggal putri Indonesia yang tangguh pun makin terasa.
Baca lanjutan berita ini di halaman berikut >>>
Sebesar apapun usaha Gregoria untuk mengesampingkan beban yang ada, ia tetap harus menerima fakta bahwa sulit untuk melakukannya. Terlebih saat ia mulai menapak ke level senior, pemain-pemain senior di atasnya sudah mulai tak lagi berada di Pelatnas Cipayung.
Gregoria Mariska pun langsung berhadap-hadapan dengan berbagai beban. Proses dan upayanya untuk naik perlahan, satu per satu anak tangga menuju level elite dunia, tidak bisa memuaskan semua pihak.
Apalagi jika kemudian proses tersebut dibanding-bandingkan dengan Ratchanok, Nozomi, dan Akane yang memang bisa langsung menggebrak saat masuk ke level senior. Di Olimpiade 2020, Chen Yufei yang jadi juara dunia junior satu edisi sebelum dirinya sudah bisa berdiri di podium tertinggi.
Di saat proses pemain-pemain muda negara lain lancar, termasuk An Se Young yang melejit usai Olimpiade 2020 di 2021, perjalanan Gregoria Mariska justru seolah melambat bahkan cenderung diam di tempat.
Peringkat terbaiknya di posisi belasan tidak pernah berlanjut jadi tembus ke 10 besar. Yang ada, Gregoria bahkan sempat kembali terlempar ke luar 20 besar. Gregoria benar-benar ada dalam situasi dan momen yang sulit di 2022.
Sejak membawa Indonesia juara Badminton Asia Team Championship 2022, Gregoria sejatinya sudah berusaha keras untuk keluar dari tekanan yang ada. Ia menyadari bahwa mentalnya cukup goyah karena hasil baik yang tak kunjung datang. Namun keinginan dan harapan Gregoria tak serta-merta mulus berjalan.
Setelah berbagai pergulatan batin dan momen sulit, Gregoria yang mendapat banyak dukungan dari orang-orang terdekat dan juga fans badminton Indonesia akhirnya bisa menampilkan versi terbaik dari dirinya.
 Gregoria Mariska menang dua gim di tiap laga yang ia jalani di Japan Masters. (Arsip PBSI) |
Di tahun 2023, Gregoria bisa menembus tiga final dan dua kali merebut gelar. Usai memenangkan Spain Masters, Gregoria kembali jadi yang terbaik di Kumamoto Japan Masters.
Penampilan Gregoria di laga final lawan Chen Yufei adalah penutup manis bagi pekan yang indah yang dicatat Gregoria.
Di laga lawan Chen Yufei, penampilan Gregoria nyaris tanpa cela. Ia sangat dominan dalam tiap reli yang dilakukan.
Chen Yufei yang jadi unggulan ketiga dipaksa lebih banyak dalam posisi tertekan di tiap reli yang dimainkan. Kombinasi pukulan Gregoria yang 'lembut' seperti saat melakukan netting silang serta dropshot, dipadu serangan 'keras' lewat smes tajam benar-benar membuat Chen Yufei kewalahan, dari awal hingga akhir pertandingan.
Bila berpatokan pada gelar juara, satu gelar BWF Tour Super 500 ini masih jauh dari pembuktian bahwa Gregoria sudah layak disebut masuk level elite. Namun patutlah Gregoria untuk lebih percaya diri bahwa ia ada di jalan yang benar untuk menuju ke sana.
Dan yang patut diingat oleh Gregoria Mariska, ia telah membuktikan bahwa dari segi permainan, dirinya tidak patut lagi untuk berkecil hati dan tertekan ketika menghadapi pemain-pemain unggulan.
Beban Gregoria sebagai tunggal putri nomor satu Indonesia akan tetap berat, namun ia bisa lebih percaya diri menanggung beban itu karena sudah punya pundak yang lebih kuat.
[Gambas:Video CNN]