TESTIMONI

Rony Gunawan, Kisah Ring Ember Bekas dan Nyaris Dilepas Satria Muda

Rony Gunawan | CNN Indonesia
Rabu, 06 Des 2023 18:55 WIB
Rony Gunawan sempat mengalami masa sulit di awal kariernya bersama CLS. (Dok. Satria Muda)
Jakarta, CNN Indonesia --

Saya tidak berasal dari keluarga yang menggemari bola basket. Bahkan saya baru benar-benar menekuni olahraga yang akhirnya membesarkan nama saya saat masuk Sekolah Menengah Atas (SMA).

Sebelum itu tidak ada olahraga yang spesifik saya tekuni. Karena jujur, awalnya saya tidak pernah kepikiran untuk menjadi seorang atlet.

Olahraga yang saya ikuti sebelum masuk SMA itu tidak menentu. Kadang main sepak bola sama teman-teman terkadang juga main bulutangkis. Kebetulan ayah saya menyukai bulutangkis.

Saya pada akhirnya jatuh cinta dengan basket ketika diajak teman SMA untuk ikut bermain saat class meeting. Kebetulan kelas saya ketika itu sedang membutuhkan pemain.

Akhirnya saya memutuskan untuk masuk tim dan ikut bermain. Perasaannya waktu itu ya senang saja, apalagi kan banyak juga yang menonton pertandingannya.

Ketertarikan saya dengan basket lalu diketahui ayah. Ayah saya akhirnya membuatkan ring basket yang beneran di depan rumah dan ada lapangannya juga.

Orang tua benar-benar mendukung penuh. Sebelum dibuatkan ring yang beneran, ring basketnya dibuat dari ember bekas yang dibolongin kemudian ada juga ring ukuran kecil. Enggak memadai awalnya.

Baru semenjak ada ring beneran itu mulai latihan sendiri, nembak-nembak sendiri. Setiap sore bersama teman-teman ketika itu juga sudah berkumpul untuk main bareng.

Saya juga dulu sering nonton pertandingan NBA, zamannya Michael Jordan. Saya belajar cara nembak yang benar, pergerakannya seperti apa. Semua itu terus saya ulang-ulang saat latihan di depan rumah.

Rony Gunawan baru serius menekuni olahraga basket saat berada di bangku SMA. (Foto: M. Arby Rahmat)

Saat SMA itu juga saya masuk klub basket di tanah kelahiran, Abadi Samarinda. Setelah masuk klub, permainan saya semakin bagus hingga masuk tim untuk ikut kejuaraan antarklub di sana.

Jenjangnya terus meningkat. Saya ikut kejuaraan antar daerah, Popwil, hingga Pra PON. Dari sekolah saya, sekolah katolik, saya jadi satu-satunya perwakilan dari sana.

Kejuaraan demi kejuaraan itu membuat kemampuan saya berkembang. Ini berkat sering bertanding juga karena awalnya belum ada yang mengasah skill dan potensi saya secara benar sebelum masuk klub.

Selama menimba ilmu di klub, saya nurut saja apa kata pelatih. Istilahnya, "gue ikuti saja semua instruksinya", hehehe.

Saya menempatkan diri sebagai pemain yang mudah untuk dilatih. Saya tidak mau jadi pemain yang sok tahu karena pelatih itu sudah pasti pengetahuannya lebih dari pemain.

Begitu selesai SMA dan memutuskan kuliah saya hijrah ke Surabaya. Dari awal memang sudah ada rencana kuliah di sana dan kebetulan ada Pacific Caesar dan CLS, cuma yang lebih terkenal saat itu dan sering masuk televisi, ya CLS.

Kepindahan saya juga terbilang simpel. Cuma memakai surat pengantar dari Pengcab di Samarinda dan surat itu rupanya nggak pengaruh juga.

Rony Gunawan (belakang) mulai menancapkan namanya bersama CLS. (CNNIndonesia.com/ Adhi Wicaksono)

Saat tiba di CLS, surat itu cuma dilihat sebentar dan langsung disuruh ikut latihan. Saya masuk tim junior, Lalu masuk junior CLS, ada Charly Affandi di sana.

Waktu itu saya sudah termasuk jago di Kaltim, tetapi saat masuk CLS, waduh ngejarnya jadi jauh banget. Benar-benar berbeda mulai intensitas latihannya, fisiknya juga. Baru di sana terbuka kalau saya ini belum ada apa-apanya.

Di pentas Kobatama tahun 1999, saya sudah masuk tim senior. Mainnya saat pertandingan tersisa 12 detik atau tim sudah kalah jauh baru saya dimainkan. Di momen itu tidak mengenakan tetapi pada akhirnya saya sadar semua pemain harus dapat momen seperti itu untuk menguatkan mental.

Masih di tahun yang sama ada momen di awal karier saya yang sampai sekarang masih teringat. Kami sudah unggul jauh atas Siliwangi dan semua pemain yang ada di bangku cadangan sudah bermain.

Saya yang waktu itu baru berusia sekitar 19 tahun jadi satu-satunya pemain yang belum dimainkan. Dalam hati bertanya-tanya kenapa saya belum dimainkan juga? Lalu tiba-tiba manajer CLS muncul dari belakang. Dia persis berada di belakang saya, dia menunjuk saya sembari mengatakan kepada pelatih bahwa Rony Gunawan belum main. Akhirnya saya pun main.

Saya tidak merasa senang saat itu karena dimainkan. Saya kesal karena tahu dimainkan bukan karena pelatih ingin melihat saya bermain tetapi manajer yang meminta.

Kalau coach yang suruh main, okelah, karena dia yang tahu. Tapi ini manajer. Emosi juga mainnya dan kacau. Baru main sebentar saya sudah foul trouble. Pikiran enggak fokus karena sudah kesal saya main karena belas kasihan.

Namun momen itu pada akhirnya jadi titik balik karena saya nggak mau lagi terjadi bukan pelatih yang menunjuk saya untuk bermain. Saya termotivasi untuk membuktikan kemampuan yang saya miliki.

Saya rasa mentalitas ini setiap pemain harus punya. Mau diam saja atau berusaha setelah mengetahui kamu nggak dianggap. Itu momen yang saya enggak pernah bisa lupakan.

Baca lanjutan artikel ini di halaman selanjutnya>>>

Juara Paling Berkesan di Satria Muda


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :