Jakarta, CNN Indonesia --
Saya tak pernah bermimpi untuk mencapai karier gemilang di tenis meja. Namun, semua itu terjadi karena takdir dan lingkungan yang mendukung.
Ayah adalah pembuka jalan saya untuk terjun di dunia tenis meja. Beliau adalah pelatih tenis meja meski tak pernah jadi atlet.
Kecintaan ayah pada pingpong otomatis tertular kepada saya. Di usia 9 tahun saya resmi bergabung dengan klub tenis meja Wargi Jaya Bandung, tempat ayah saya melatih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dua tahun berselang, saya mulai menonjol dan sukses menjadi juara di tingkat kadet dan atlet junior terbaik kedua pada usia 11 tahun.
Saya ingat betul ketika berhasil menjuarai turnamen Pemuda Cup di Klaten dan Benawi Cup di Semarang. Tak lama kemudian klub Djarum Kudus merekrut saya. Dari sinilah petualangan hidup saya dimulai.
Sempat home sick, tapi di saat bersamaan senang bertemu teman-teman baru yang fokus jadi atlet tenis meja. Banyak kejuaraan yang saya ikuti hingga akhirnya masuk pelatnas tenis meja saat 14 tahun.
Saya pernah tergabung di pelatnas SEA Games 1987 namun baru terjun di SEA Games 1989 Malaysia. Saya berhasil membawa pulang satu medali emas beregu dan satu perunggu di tunggal putra.
Mungkin saya bisa raih emas tunggal putra, namun kami dicurangi dan terpaksa kalah di semifinal. Wasit sering kali mengklaim saya melakukan double saat terima block shot di momen-momen kritis.
 Anton Suseno tiga kali tampil di Olimpiade. (Instagram/@timindonesiaofficial) |
Pak Ali Said, Ketua PB PTMSI saat itu juga kesal karena ulah wasit. Pemain tunggal putri Rossi Pratiwi pun terpaksa walk out di final karena akumulasi dari kecurangan-kecurangan yang kita dapat.
Dua tahun kemudian saya rebut dua emas di SEA Games 1991 Manila dari nomor tunggal dan beregu. Prestasi itu membuat saya berhak tampil di Olimpiade Barcelona 1992.
Olimpiade Barcelona salah satu yang sangat berkesan. Pengalaman saya pertama kali tembus Olimpiade dan suasana kota yang indah di pinggiran pantai.
Saya menembus ranking 33 tunggal putra dari total 64 peserta yang merupakan atlet tenis meja kelas dunia. Sampai saat ini sepertinya belum ada tunggal putra Indonesia yang mencapai ranking 33 di Olimpiade.
Meski tak juara, saya sangat bangga karena bisa tanding bersama-sama dengan ribuan atlet terbaik dunia. Saat itu ada bintang NBA Michael Jordan, maestro tenis Jerman Steffi Graf.
Sebetulnya saya tidak minder lawan atlet dunia. Saya selalu percaya diri apalagi wakil ASEAN sendirian. Tapi, saya akui kita kalah jam terbang dan pengalaman. Jadi mereka lebih matang dan unggul.
Setahun kemudian, saya kembali dipercaya ikut SEA Games 1993 di Singapura. Dua medali emas pun berhasil saya bawa pulang masing-masing di nomor tunggal dan beregu putra.
Baca di halaman selanjutnya>>>
Di tahun yang sama, saya ikut kejuaraan tenis meja di Swedia. Tim putra Indonesia berhasil menembus ranking 21 dunia di saat persaingan sedang ketat-ketatnya.
Ternyata ada salah satu pelatih klub profesional Swedia yang memantau. Dia kemudian menawarkan saya gabung klub yang dilatihnya, BTK Stratos.
Saya senang tapi bingung bagaimana caranya karena belum pernah juga pemain tenis meja Indonesia main di klub luar negeri.
PTMSI kemudian keluarkan izin dan saya resmi jadi atlet tenis meja pertama Indonesia yang direkrut klub profesional di luar negeri.
Saya ingat betul gaji saya saat itu 1.000 dolar per bulan untuk berdurasi enam bulan di musim 1993/1994. Terus terang, itu jumlah uang yang sangat lumayan di zaman itu.
Di musim pertama, saya tak pernah kalah dan hampir tiap minggu jadi headline di koran-koran lokal Swedia. Bangga rasanya bisa dihargai di negeri orang.
Kemudian klub saya berhasil menembus Divisi Utama atau kompetisi tenis meja paling top di Swedia. Saya kembali dikontrak di musim 1994/1995 dan tetap jadi pemain utama. Kemudian nilai kontrak naik dua kali lipat jadi 2000 dolar.
Sayang, saya kewalahan di musim kedua karena harus berhadapan dengan para pemain top dunia. Saya pernah hadapi mantan juara dunia dan juga juara Olimpiade. Saya hanya bisa menang sekali di sepanjang musim.
 Anton Suseno merupakan legenda tenis meja Indonesia. (Arsip Pribadi) |
Secara mental saya siap bermain lawan siapa saja dan enggak pernah minder. Tapi, memang saya harus akui kalah jam terbang dan pengalaman.
Banyak yang saya pelajari selama dua musim main di Swedia. Di sana kompetisinya banyak dan mandiri. Kalau di Indonesia, hanya turnamen yang timbul-tenggelam dan tidak rutin.
Setelah dua tahun di Swedia, saya balik ke Indonesia dan kembali tampil di Olimpiade Atlanta 1996. Sempat istirahat setahun di 1997, kemudian juara SEA Games 1999 di ganda putra berpasangan dengan Hadi Yudo Prayitno.
Persaingan mulai berat karena Singapura naturalisasi atlet China. Saya kalah di final lawan tunggal putra Singapura naturalisasi China. Akhirnya dapat perak. Mungkin bisa emas kalau mereka nggak pakai pemain naturalisasi.
Tahun 2000 saya kembali main di Olimpiade. Saya jadi satu-satunya pemain tenis meja yang tiga kali berturut-turut main di Olimpiade. Ini menjadi rekor yang belum bisa dipecahkan sampai sekarang.
 Anton Suseno juga aktif sebagai pengusaha tambang. (Arsip Pribadi) |
Setahun kemudian saya berhenti dari timnas. Sebenarnya saya masih merasa mampu main di Olimpiade 2004, tapi hidup ini pilihan. Saya menikah dan memilih mengurangi kesibukan di event internasional. Di PON Masih ikut sampai benar-benar berhenti di tahun 2007.
Setelah pensiun saya terjun jadi pelatih di klub, tergabung di Asosiasi Olympians Indonesia, pengurus di PB PTMSI sempat jadi sekjen, ketua harian, tapi capek juga karena konflik dualisme federasi.
Saya berharap dualisme PTMSI segera selesai. KOI, KONI, Menpora bisa terjun langsung untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan. Sedih rasanya melihat prestasi tenis meja Indonesia terus menurun karena konflik ini.
Saya yakin prestasi tenis meja Indonesia bisa kembali bangkit jika tiga faktor penunjang terpenuhi. Atlet bagus, pelatih berkualitas, dan pengurus federasi yang bagus juga. Semoga tenis meja Indonesia bisa kembali berprestasi seperti sedia kala.