Saya kenal badminton di usia tujuh tahun. Karena mama saya punya tugas menggerakkan olahraga badminton di masyarakat, jadi saya ikut serta. Ada gedung serba guna yang digunakan untuk latihan dan di situ saya ikut berlatih.
Mama saya kemudian melihat bahwa anak-anaknya, saya dan kakak saya, Ratih Kumala Dewi, menyukai badminton. Akhirnya kami diarahkan masuk ke klub yaitu PB Mei yang latihannya di Gelanggang Remaja Jakarta Timur.
Di PB Mei, saya mulai latihan dua kali seminggu. Lalu juga mulai ikut turnamen-turnamen di Jakarta Timur. Saya masih usia 10 tahun saat itu, namun sudah ikut kategori Remaja A yang batas usianya 13 tahun. Saya juara di situ.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah juara di Jakarta Timur, saya jadi wakil Jakarta Timur menghadapi pebulutangkis lain dari daerah-daerah lain di Jakarta. Saat ity saya masih tidak ada apa-apanya.
Tahun 1979, kakak saya masuk Sekolah Ragunan. Hal itu yang memotivasi saya untuk makin rajin latihan. Saya lalu ditantang Mama saya untuk bisa juara di Jakarta sehingga bakal lebih mudah nantinya untuk pengajuan beasiswa. Tahun 1980, saya akhirnya bisa juara se-Jakarta dan masuk SMA Ragunan.
Saya paling muda di Ragunan saat itu, masih 13 tahun di antara atlet-atlet badminton lainnya. Di Ragunan, saya makin semangat dan termotivasi karena melihat senior-senior saya seperti Mas Icuk Sugiarto dan Kak Yanti Kusmiati dan tentunya kakak saya sendiri, Kak Ratih.
Kakak saya juga sering cerita soal pemain-pemain yang ada di Ragunan, termasuk Koh Lius Pongoh. Koh Lius itu sudah bisa masuk Tim Thomas Cup 1979 saat usia muda. Kakak saya cerita bahwa Koh Lius itu kalau dari Ragunan ke Pasar Minggu untuk bantu-bantu mamanya itu dia pergi dengan berlari.
Hal itu yang ikut membuat saya berlatih lebih keras. Saya tambahan latihan lari sebelum latihan di Ragunan. Setiap pagi saya lari di sekitar kawasan tersebut.
Saya lalu berhasil masuk Pelatnas PBSI pada 1985 setelah di tahun sebelumnya sempat masuk dengan status magang. Saat di Pelatnas PBSI dan dipegang Ci Liong Chiu Shia, barulah di situ saya tahu dengan baik soal teknik.
Sebelumnya saya tahunya cuma smash dan pukulan saya keras. Belum tahu namanya ada netting pelintir, soal bola silang. Belum tahu cara main biar efektif, tidak gampang capek.
![]() |
Setelah itu saya makin sadar bahwa main itu harus pakai rasa, harus pakai feeling, bukan asal gebuk-gebuk saja. Kami diasah setiap hari. Shuttlecock satu boks harus dihabiskan lewat drilling.
Usai pensiun, saya meniti karier sebagai pelatih. Jadi pelatih itu punya dimensi yang berbeda. Menghadapi anak-anak tidak gampang, karena harus satu hati juga. Saya harus tahu karakter sang pemain, tidak mudah loh untuk memahami anak-anak sekarang.
Saya juga sempat jadi pelatih Pelatnas Cipayung dalam dua kesempatan. Total sekitar empat tahun dan saya rasa itu terbilang sebentar. Dulu di generasi saya, Ci Chiu Shia itu pegang pemain dari 1986 dan dalam waktu yang panjang dengan begitu pembentukan pemain bisa lebih konsisten.
Saat ini saya melatih di Amerika Serikat. Saat tawaran datang, saya mengiyakan asal semuanya resmi termasuk soal visa kerja. Di Amerika Serikat, saya melatih klub dan saya punya ambisi pemain-pemain yang saya bina bisa berprestasi di tingkat nasional dan bisa mewakili Amerika Serikat.
Menarik perjalanan hidup saya hingga saat ini, saya bersyukur bisa menjadi Sarwendah yang terbilang memiliki hasil dan prestasi dengan diawali kerja keras. Saya ingin menyenangkan orang tua dengan bermain badminton dan hal itu sudah saya jalani dan sudah saya wujudkan.
Kegagalan yang ada, tetap menurut saya sebagai sebuah kegagalan. Kegagalan yang paling tak bisa saya lupakan itu tentu Olimpiade. Yang kedua, Kejuaraan Dunia 1991. Sebenarnya saya punya kesempatan, sayang saya malah kalah dengan selisih skor yang jauh.