Memakai kaus dengan lambang garuda di dada punya kebanggaan tersendiri. Jangankan atlet yang berlaga di pentas internasional, emosional itu dirasakan pula oleh suporter.
Tak heran seragam Timnas Indonesia juga punya sakralitas tersendiri. Karenanya pula publik punya hak untuk mengkritisi desain jersey skuad Merah Putih.
Pihak-pihak yang tidak suka dengan jersey terbaru Timnas Indonesia buatan Erspo, tak bisa diartikan sebagai orang-orang yang 'digerakkan' oleh jenama-jenama yang kalah tender.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apalagi dengan melontarkan asumsi bahwa, seolah pecinta Timnas hanya sibuk dengan urusan jersey, yak tak esensial. Itu pemikiran picik. Jersey Timnas Indonesia itu identitas.
Jika aksi-aksi pemain di lapangan, semangat juang, sportivitas, dan kualitas, dimaknai sebagai citra bangsa, jersey Timnas Indonesia dipandang juga sebagai wajah negara.
Bagi pemain, mengenakan jersey dengan kualitas paling buruk sekalipun, asal ada lambang Garuda di dada, akan sama membanggakannya. Namun, kesan seragam tempur Timnas, tak demikian dipandangnya.
Tak bisa dibenarkan mendesain jersey Timnas dengan serampangan. Kreativitas, penggalian filosofi, dan pemaknaan akan unsur keren, sudah menjadi satu kesatuan.
Karenanya pula detail-detail yang terpajang di seluruh elemen jersey Timnas, tak boleh comot sana comot sini. Menjiplak tentu saja berbeda dengan terinspirasi.
Seperti teori semiotika Roland Barthes, jersey Timnas Indonesia juga punya makna konotasi, denotasi, dan mitos. Ketiganya bisa dianggap sebagai dialektika zaman.
Secara konotatif jersey Timnas bisa diartikan sebagai identitas, secara denotatif jadi komoditas budaya, dan secara mitos merupakan sakralitas.
Dan, memakai jersey Timnas Indonesia itu sudah jadi gaya hidup. Ia tak hanya dipakai ke stadion. Ia dipakai di banyak situasi, sehingga nilai-nilai identitas dan sakralitasnya kudu dibuat keren.