Saat kalah 0-1 dari Guinea, cara main Timnas Indonesia U-23 berbeda dengan di Piala Asia U-23 2024. Kondisinya memang sudah tak sama.
Pemain seperti lelah badan, hati, dan pikiran. Walau begitu beban besar dari masyarakat tetap dipikul pemain yang kondisinya tak 100 persen. Perjuangan tetap diangkat, meski badan minta rehat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karenanya kekalahan 0-1 dari Guinea dan gagal tampil di Olimpiade 2024 tak perlu disesali. Perjalanan ini sudah luar biasa. Malah kisah ini dijadikan inspirasi membangun fondasi prestasi.
Tentu saja fondasi itu bernama kompetisi. Tanpa ada kompetisi dari level bawah yang baik dan terukur, asa menjadi jawara Asia dan tampil di Olimpiade berikutnya hanya halusinasi.
Vietnam, sebagai perbandingan, pernah berada di titik ini. Tim Naga Emas menjadi runner up Piala Asia U-23 2018 dan tim seniornya melaju ke fase ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2022.
Namun, begitu Park Hang Seo (pelatih kepala Veitnam) pergi, performa mereka ikut rontok. Tim senior mereka mulai masuk angin dan generasi penerusnya belum bisa berada di level yang sama.
Vietnam terlalu 'mendewakan' Park Hang Seo dan lupa akar rumput. Jika Timnas Indonesia tak ingin bernasib seperti Vietnam, jawabannya cuma satu: benahi kompetisi.
Kompetisi usia muda harus menjadi fondasi. Elite Pro Academy, juga program akselerasi seperti Garuda Select, sepantasnya digencarkan. Sepak bola akar rumput kudu dirajut.
Pada saat yang sama kompetisi kasta tertinggi juga harus jadi tulang punggung. Sudah saatnya PSSI menetapkan target, klub-klub Liga 1 mendominasi kompetisi Asia.
Itu akan terwujud jika akselerasi tingkat tinggi juga dilakukan untuk kompetisi, seperti langkah yang ditempuh untuk Timnas. Hanya merias Timnas tanpa mendandani Liga, hanya akan jadi bumerang.
Shin Tae Yong telah membuat Timnas Indonesia naik pamor, tetapi individu bukan satu-satunya faktor. Saat ini wajib hukumnya membenahi kompetisi, agar tampil Olimpiade bukan cuma mimpi.
(abs/rhr)