Sekali lagi, Indra Sjafri membawa Timnas Indonesia U-19 juara. Mungkin, ini yang disebut Friedrich Nietzsche sebagai amor fati.
Dalam falsafah si Dinamit-Nietzsche, amor fati itu bukan soal kekekalan, soal keberbedaan, masa depan, atau bahkan masa lalu. Ini soal takdir dan cinta dalam dialektika diri.
Secara puitis, amor fati itu mencintai takdir. Seperti mencintai takdir sebagai pelatih, jalan pahit pun dirakit Indra. Dikutuk dan dipiting keadaan tak jadi alasan untuk menyerah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anarkisnya, Indra telah melewati salah satu fase paling buram: fatum brutum amor fati. Frasa latin ini kira-kira bermakna: mencintai takdir walau takdir hadir dengan begitu brutal.
Indra datang ke blantika sepak bola nasional saat PSSI porak poranda: dualisme (2011). Dari situ Indra blusukan keliling negeri. Ia mencari bakat yang tak dibina kompetisi.
Kerja kerasnya berbuah juara Piala AFF U-19 2013 bersama generasi Evan Dimas. Ini gelar juara internasional pertama Indonesia setelah 24 tahun. Setelah emas SEA Games 1991.
Indra yang memberi nama anak didiknya Garuda Nusantara lantas membidik Piala Dunia U-20 2015. Untuk itu Indonesia U-19 harus masuk semifinal Piala Asia U-19 2015.
Sayang, lahir 'Tur Nusantara' dari PSSI. Tim yang membantai Korea Selatan 3-2 di Stadion Utama Gelora Bung Karno ini jadi sirkus. Keliling Indonesia untuk 25 laga uji coba.
Akhirnya, jangankan lolos ke Piala Dunia U-20 2015, lolos babak grup Piala Asia U-19 2015 pun tidak. Kerakusan federasi membuat performa anak-anak Indonesia U-19 hilang kuda-kuda.
Setelah itu bersama angkatan Witan Sulaeman pada 2017 dan 2018 tak ada gelar juara diraih. Tahun berikutnya, menjelang SEA Games 2019, Indra meraih gelar juara Piala AFF U-22 2019.
Berikutnya, saat Shin Tae Yong datang, Indra pernah 'tersisihkan'. Namun, ia berdamai dengan keadaan. Belum cukup alasan untuk balik badan. Jadi Direktur Teknik PSSI pun jadi.
Hari-hari berganti, bulan-bulan terlewati, dan tahun demi tahun dilalui, tiba-tiba Erick Thohir meminta Indra menjadi pelatih Indonesia untuk SEA Games 2023 di Kamboja.
Dalam bayang-bayang Shin yang dipuja-puji, Indra dipandang sebelah mata. Berangkat ke Kamboja tanpa pemain keturunan yang sedang naik daun, emas SEA Games setelah 32 tahun direbut.
Inilah fatum brutum amor fati Indra Sjafri. Pria kelahiran Desa Lubuk Nyiur, Sumatera Barat ini membuktikan cintanya tak tersungkur ditikam takdir: sepak bola Indonesia yang terbelakang.
Baca lanjutan berita ini di halaman berikut >>>