Mantan asisten pelatih Timnas Indonesia Wolfgang Pikal menyoroti meredupnya talenta berbakat Papua usai habisnya generasi emas Boaz Solossa.
Pada dua dekade awal milenium, talenta Papua sangat menonjol. Boaz adalah salah satu di antaranya. Generasi Boaz ini lantas meraih banyak gelar juara bersama Persipura Jayapura.
Kini, tak banyak talenta Papua yang menonjol di pentas nasional, termasuk di Timnas Indonesia. Bahkan Persipura sebagai klub tersukses Papua turun kasta ke Liga 2.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Pikal, ada kesenjangan pembinaan pada dua dekade terakhir. Ini menjadi pekerjaan besar keluar sepak bola Papua, juga PSSI sebagai induk organisasi sepak bola Indonesia.
"Memang benar Boaz itu bakatnya luar biasa. Bakat dari Tuhan luar biasa yang dulu waktu masih di dalam karier yang dia sekarang sadar lifestyle kurang," kata Pikal, Rabu (9/10).
"Kami sekarang di Papua Football Academy fokus kesana: sepak bola, sekolah akademis, dan lifestyle. Artinya bagaimana arahnya sebagai atlet," ujarnya.
Selama dua tahun terakhir Pikal membidani Papua Football Academy. Ini membuatnya turun langsung ke Papua dan melihat langsung bakat dan talenta pemain serta perkembangannya.
"Saya sudah dua tahun di Papua, saya lihat ada beberapa anak yang punya bakat di atas rata-rata. Cuma saya harap semua pelatih di Papua lebih awal dulu [mulai serius menekuni sepak bola]," kata Pikal.
"Bukan mulai dari 12 dan 13 tahun, tetapi dari tujuh tahun. Saya optimistis di masa depan banyak pemain Papua main di Liga Indonesia dan beberapa pemain Papua mewakili Timnas," ujarnya.
Pikal mengatakan, ada tiga tantangan besar yang dihadapi sepak bola Papua saat ini. Kendala ini harus dientaskan bersama-sama agar sepak bola Indonesia terus maju.
"Tantangan cari bakat ke Papua itu sumber daya pemain itu sedikit. Papua cuma enam juta orang. Di Surabaya saja ada tujuh juta. Itu yang pertama tantangannya," katanya.
"Kemudian dari beberapa daerah kita tidak boleh ke sana. Pelatih-pelatih sebetulnya sedikit. Harapannya dari coaching departement PSSI banyak gelar pelatihan di Papua."
Terakhir, kata Pikal, tantangannya adalah jarak yang tak mudah ditempuh. Sejumlah daerah di Papua tidak bisa dijangkau dengan kendaraan, tetapi harus dengan peswat.
Ini membuat penyebaran sepak bola di Papua menjadi mahal. Hal ini tak bisa diatasi klub sepak bola, melainkan harus bersama pemerintah dan federasi, dalam hal ini PSSI.