Apalagi bila menilik perjalanan saya ke belakang. Saya sempat bimbang ketika saya sempat vakum gak latihan beberapa lama. Jadi sempat ada wacana dari Ibu, apa pindah cabang saja ya.
Karena memang saat itu lagi bimbang. Karena sudah latihan dari kecil. Tapi Alhamdulillah, waktu itu gak lama ada Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas). Jadi saya dipanggil lagi. Dari situ bisa latihan lagi.
Terus saat saya di Ragunan, sempat bimbang juga. Karena program untuk yang atlet cowok dihentikan. Jadi atlet cowok tetap bisa bersekolah sampai selesai, tetapi tidak lagi ada program untuk latihan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya berpikir, kalau pulang mau jadi apa nih? Akhirnya saya berpikir harus pergi dari Ragunan. Supaya saya gak menghabiskan waktu di sini. Akhirnya ada klub Bina Bangsa, ada kakak saya juga di sana, saya bergabung ke sana.
Soalnya saya berpikir kalau kembali ke Palembang, saya gak bakal jadi pemain bulu tangkis level dunia. Paling jadi pemain-pemain daerah.
Mungkin itu termasuk momen berat dalam karier saya. Karena saya merantau sendiri ke Jakarta. Memang ada kakak, tetapi dia sudah ada klub.
Karena pindah klub itu akhirnya sekolah sempat tidak lanjut dulu. Stop dulu satu tahun baru bisa nyambung lagi.
Saya juga sempat pindah-pindah latihan dan kemudian bertemu Bona Septano yang saat itu sedang latihan tambahan. Saya sedang tidak punya pasangan, begitu juga Bona.
![]() |
Akhirnya ngobrol dan sepakat berpasangan. Sejak berpasangan dengan Bona pada 2005, Alhamdulillah mulai juara-juara terus. Akhirnya saya juga ditarik masuk PB Djarum dan masuk ke Pelatnas.
Masuk ke Pelatnas, masih ada banyak yang senior. Kalau lewat depan mereka, ya dikerjain terus. Jadi kalau misal kami yang junior lewat, dipanggil dulu, dikerjain dulu. Tapi ya positiflah.
Bahkan kalau senior-senior lagi makan, kalau senior-senior masih ada, saya lebih memilih nanti dulu.
Waktu pertama kali mulai sparring sama pemain-pemain senior, ya saya rasakan memang sulit ternyata bola-bola level pemain dunia. Kalau saya kan waktu itu ya asal kencang saja.
Dari situ, saya belajar. Kalau memang kita masih junior, istilahnya kita memang benar-benar kayak dibejeg dulu. Dilatih keras, menguatkan fisik, menguatkan power dan lain-lain.
Awal-awal di Pelatnas, saya dan Bona kayak dibilang rising star. Karena memang tidak ada beban. Terus juga saat itu yang jadi sparring kami banyak, senior banyak. Otomatis kami ikut ketarik.
Bayangkan, kami main langsung sama juara dunia, juara Olimpiade. Apalagi kami belum ada beban, pola pikirnya masih yang penting main bagus. Nothing to lose.
Saat ada situasi yang membuat latihan harus terbagi dua kubu di Pelatnas Cipayung, itu benar-benar gak enak. Karena kami masih junior tetap butuh senior yang bisa bimbing kami. Tapi kan latihannya terpisah dan program terpisah. Habis itu Koh Herry kan sempat keluar Pelatnas dulu kan, lalu masuk lagi saat Mas Sigit Pamungkas keluar.
Pas kemudian saat itu tiba-tiba senior banyak yang meninggalkan Pelatnas, saya dan Bona itu belum matang. Jadi pas mereka keluar semua, kami kayak dipaksa jadi nomor 1, padahal waktu itu belum matang.
Itu yang saya rasakan sama Bona. Kami jadi ganda nomor satu di Pelatnas Cipayung tetapi tidak ada sparring yang levelnya di atas kami lagi.
Saat kami bisa meraih medali perunggu Kejuaraan Dunia 2011, hal itu lumayan mengangkat kepercayaan diri kami. Tetapi kalau saya melihat, level kami itu masih papan tengah lah. Belum papan atas yang powernya stabil.
![]() |
Ketika akhirnya saya dan Bona jadi satu-satunya wakil ganda putra di Olimpiade, sejak awal harus diakui bahwa kami sudah merasa terbebani saat berstatus ganda nomor 1 di Pelatnas. Kami dianggap gak bisa bersaing dan segala macam. Ya orang mau ngomong apapun terserah, tetapi kami berusaha latihan, berdoa, dan hal itu yang saya jalani.
Saya sering dengar langsung cibiran-cibiran seperti itu. Tetapi dalam pekerjaan seperti ini ya pasti ada. Sekarang pilihannya, kami mau kalah sama omongan mereka atau berusaha melawan? Kami pilih melawan dengan bekerja keras.
Saat tampil di Olimpiade London 2012, kami punya target bawa medali. Saat akhirnya terhenti di perempat final, ya kami sudah berusaha, latihan dan persiapan juga benar-benar keras.
Duet sama dengan Bona sudah berusaha maksimal. Bona sudah maksimal, saya sudah maksimal, tetapi memang belum bisa. Mungkin berarti harus dirombak. Saat itu Koh Hendra kembali masuk Pelatnas Cipayung, akhirnya dipasangkan dengan saya.
Setahun pasangan terus bisa juara dunia, saya tidak menyangka. Saya punya bayangan bahwa kami bisa juara dunia tetapi tidak membayangkan secepat itu.
Awal kami punya keyakinan itu setelah juara di Malaysia. Saat tampil di All England, saya cedera pinggang dan sempat absen beberapa bulan.
Setelah itu kami bisa juara di Singapore Open, Indonesia Open, dan Kejuaraan Dunia. Gak menyangka bisa secepat itu.
![]() |
Bicara soal karier, saya juga akrab dengan cedera pinggang. Cedera ini pernah saya rasakan saat junior namun baru kembali terasa saat All England 2013 itu. Setelah itu, rasa sakit itu kadang muncul, kadang enggak.
Di tahun 2014, saya kembali sakit pinggang. Saat itu ada Kejuaraan Dunia dan Asian Games. Belajar dari pengalaman, sakit itu bisa lama.
Sempat bimbang juga menghadapi dua kejuaraan itu. Soalnya kalau kami turun main, pasti targetnya juara semua.
Saya bicara dengan dokter dan dia menyarankan untuk absen di salah satu turnamen. Jadi skip Kejuaraan Dunia supaya Asian Games bisa maksimal. Recovery bisa lebih lama.
Asian Games itu seperti pertaruhan juga. Karena saya sempat dengar bahwa kalau gak bisa juara, mungkin pelatih Koh Herry bisa diganti.
![]() |
Jadi cedera pinggang ini tidak pernah benar-benar hilang. Karena kan saya juga latihan terus dan turnamen terus.
Tetapi seiring berjalannya waktu, saya makin paham karakteristik cedera ini. Saya hafal rentetannya dan gejala-gejalanya. Jadi kalau memang terasa nyeri, yang penting nyerinya tidak bertambah.
Saya sudah tahu level dan tingkatan-tingkatannya. Misalnya rasa sakit segini, berarti masih bisa main, masih kuat. Misal lagi latihan, kalau levelnya segini, sudah jangan ngoyo. Kalau sakitnya segini, berarti harus berhenti.
Jadi kalau saat latihan, misal saya merasa ini ada gejala cedera pinggang mau parah, saya berhenti. Sampai tingkatan gejalanya, saya benar-benar sudah hapal.
Makanya salah satu keputusan saya untuk pensiun itu karena saya gak mau terus-menerus menahan sakit. Sudah cukup.
Soal cedera pinggang, saya pernah MRI. Kan ada lima bagian, nah itu seharusnya ada semacam cairan dan bantalan. Jadi sudah kosong. Jadi mungkin terasa nyeri karena antar-tulang jadi beradu.
Terus kadang-kadang juga ada paradangan saraf. Mungkin ada pilihan buat dioperasi tetapi mungkin sudah gak bisa main lagi atau gak bisa balik lagi kayak dulu.
Jadi yang penting, masih bisa dan gak sakit parah. Jadi terus jalani saja. Karena kalau operasi butuh recovery beberapa bulan.
Cedera ini mungkin karena dari latihan yang dilakukan sejak kecil. Mungkin gerakannya ekstrem atau dulu sering angkat-angkat beban berat.
Dalam karier saya, mungkin juga ada yang melihat perubahan sifat. Dulu meledak-ledak di lapangan, mungkin karena belum banyak juara. Jadi punya keinginan kuat buat juara, masih nafsu.
Seiring berjalan waktu, mungkin karena sudah mulai juara. Selain itu, juga karena lebih capek kalau teriak-teriak.
Mungkin karena bertambah umur juga. Kayak, ngapain terlalu heboh gitu kan.
Tetapi saya sendiri kemudian tidak menyalahkan pemain-pemain yang tetap heboh dan berapi-api. Apalagi saat mereka menang dan sedang melakukan selebrasi.
Karena di lapangan itu benar-benar capek dan penuh tekanan. Para pemain kan semua ingin menang, jadi ingin meluapkan perasaan juga. Saat kami sudah senior, paling cara meluapkan perasaannya hanya menggeletak saja di lapangan, paling sesekali saja masih heboh.
Menurut saya, karena ada pemain yang punya ekspresi dan gaya masing-masing, hal itu membuat badminton jadi lebih berwarna. Kalau kayak Ahsan/Hendra semua selebrasinya gak seru juga kan? Fotografer juga pasti mau cari yang heboh kan? hahaha..
![]() |
Soal Koh Herry, saya melihat Koh Herry itu sudah seperti bapak saya sendiri. Kayak orang tua saya. Beliau yang pertama kali pegang saya di Pelatnas, membimbing saya.
Salah satu nasehat Koh Herry itu adalah: 'Kalau sudah sukses, jangan berubah. Gaya hidup jangan berubah. Tetap rendah hati'.
Jadi kan ada pemain yang sudah sukses mulai santai, karena mungkin sudah banyak duit segala macam.
Koh Herry soal latihan teknik tentu sudah tidak diragukan lagi. Selain itu saya juga sering cerita soal di luar badminton. Koh Herry banyak kasih tahu soal kehidupan, bagaimana berumah tangga. Karena saya cukup dekat sama Koh Herry.
Kalau saya saya pun diingatkan. Kadang-kadang ada pola latihan yang saya tidak berkenan, Koh Herry pun terbuka. Tentu Koh Herry ada plus-minusnya, tetapi kalau saya melihatnya banyak plusnya. Karena dia yang membentuk karakter dan permainan saya di lapangan.
Seiring dengan keputusan saya untuk pensiun, saya mengucapkan terima kasih kepada Allah Subhanahuwata'ala atas rahmatnya lah saya bisa sampai sejauh ini.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua saya dan keluarga yang selalu mendukung dalam kondisi apapun, kepada PBSI, kepada para pelatih saya dari kecil sampai sekarang, partner-partner saya semuanya terutama koh Hendra dan para sponsor yaitu Waroeng Steak&Shake dan Victor. Juga tentunya untuk para penggemar setia yang selalu mendukung dan mendoakan kami.
(ptr)