Jakarta, CNN Indonesia --
Tak berlebihan kiranya jika Patrick Kluivert disebut mulai memperlihatkan jati dirinya di Timnas Indonesia pada September 2025 ini.
Dalam empat laga awal bersama Garuda, Kluivert tak banyak mengubah sistem permainan warisan Shin Tae Yong. Sebab, kekalahan 1-5 dari Australia menghantam, ketika radikal mengubah.
Pria Belanda ini hanya sedikit membumbui pola main yang sudah terbangun. Setidaknya formasi 3-4-3 dipakai Kluivert saat melawan China, Bahrain, dan Jepang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kalender internasional FIFA Matchday periode September 2025 seolah jadi momentum Kluivert lepas dari bayang-bayang Shin. Kluivert dengan berani mengubah sistem permainan.
Lebih dari sekadar memakai formasi 4-4-2, Kluivert merekonstruksi pemain. Ia tidak hanya menciptakan pola permainan, tetapi juga mereposisi gaya bermain.
Calvin Verdonk sebagai contoh, yang biasa bermain sebagai fullback atau bek sayap dan bek tengah, dimainkan sebagai gelandang. Verdonk berkolaborasi dengan Joey Pelupessy.
Verdonk dikonstruksi Kluivert menjadi inverted fullback. Karakter main yang dipopulerkan Pep Guardiola ini coba diterapkan kepada Verdonk untuk menebalkan lini tengah.
Dalam hal ini Kluivert cermat melihat potensi Verdonk. Level teknik Verdonk: kesadaran posisi, umpan akurat, dan kecerdasan taktis, pemain LOSC Lille ini memang paling menonjol.
Kluivert juga berhasil menghadirkan sisi ball winner dalam diri Nathan Tjoe-A-On. Gelandang Willem II ini seolah memakai jurus 'Kage Bunshin no Jutsu' saat melawan Taiwan.
Nathan berada di mana-mana. Sebelum bola masuk ke teritorial berbahaya Indonesia, pemain 23 tahun ini memotong bola, mengintersep, juga mengontrol irama permainan.
Karakter ball winner ini akan sangat membantu Indonesia saat nantinya berhadapan dengan Irak dan Arab Saudi dalam lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2026, Oktober mendatang.
Baca kelanjutan analisis ini di halaman berikutnya>>>
Kinerja Nathan Tjoe-A-On, Shayne Pattynama, hingga Jordi Amat, yang mulai dapat menit bermain di klub, turut terkatrol saat membela Timnas Indonesia.
Performa mereka bisa dinikmati mata telanjang dan tercatat dengan baik oleh statistik. Sebaliknya, pemain yang belum membela klub, masuk angin bersama Garuda.
Thom Haye dan Marselino Ferdinan jadi tamsil. Dua pemain ini memang tampil saat melawan Taiwan dan Lebanon, tetapi aksi-aksi mereka jauh dari level tim nasional.
Ini tentu saja tanda bahaya. Marselino adalah gelandang yang bisa menjadi penyerang sayap, hingga second striker. Pemain seperti ini biasanya disebut mezzala.
Mezzala berasal dari bahasa Italia yang berarti setengah sayap. Karakter seorang mezzala adalah bergerak ke posisi antara gelandang tengah dan sayap, mengisi celah di pertahanan lawan.
Ketika Marselino disimpan Patrick Kluivert, karena kondisinya memang belum maksimal, Ricky Kambuaya coba dikonstruksi menjadi mezzala, seperti Kevin de Bruyne atau Paul Pogba.
Pemain Dewa United ini tampil menjanjikan. Olah bolanya klinis dan umpan-umpannya mengecoh lawan. Karakter unggulan Kambuaya yang sempat terkikis ini mengemuka lagi.
Sayangnya, tim merah putih kehilangan otak atau dalang permainan di tengah. Tanpa Haye, ada sisi lain yang hilang. Saat Haye main, ada sentuhan yang kurang.
Peran Haye sebagai deep lying playmaker, yang melepas umpan panjang akurat sekaligus jadi diplomat antara lini belakang dan depan, mulai luntur. Magisnya merosot.
Dan, Kluivert belum punya sosok pengganti. Untuk posisi lain, dari kiper, bek tengah, sayap, gelandang, hingga striker ada opsi, gelandang serang jempolan cuma satu.
Inilah tugas utama Kluivert sebelum jumpa Irak dan Arab Saudi pada Oktober nanti. Semoga saja Haye bisa 'pulih' di Persib. Kalau tidak, Kluivert butuh sosok false 6.
[Gambas:Video CNN]