Jakarta, CNN Indonesia -- Wacana Gubernur DKI Jakarta
Anies Baswedan yang ingin menerapkan
uji emisi perlu dipahami bijaksana oleh pemilik kendaraan. Setiap mobil yang dijual di Indonesia pada dasarnya sudah dirancang dan memenuhi batas emisi yang berlaku, namun setelah sampai di konsumen gas buang bisa jadi lebih kotor atas kondisi tertentu.
Salah satu kondisinya yaitu tidak menggunakan bahan bakar yang direkomendasikan produsen. Misalnya, setiap mobil LCGC (Low Cost Green Car) yaitu Suzuki Karimun Wagon R, Toyota Agya dan Calya, Daihatsu Ayla dan Sigra, Honda Brio Satya, serta Datsun GO dan GO+, disarankan memakai bahan bakar minimal RON 92 misalnya Pertamax.
Bila konsumen memilih menggunakan bahan bakar dengan kualitas di bawahnya, misal RON 88 (sekelas Premium), bakal mempengaruhi gas buang mesin menjadi kotor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah memilih kualitas bahan bakar menurut Rieky Patrayudha, Head of Service Suzuki Indomobil Sales merupakan hal yang paling memberikan dampak buat emisi kendaraan.
"Pabrikan kan sudah mengetes produk yang keluar sesuai standar misalnya Euro 3 atau Euro 4 lalu disesuaikan dengan catalytic converter. Bahan bakar itu sebagai asupan mesin yang paling berpengaruh, konten setiap level bahan bakar itu kan berbeda-beda, pada RON 88 dan RON 92," ucap Riecky saat dihubungi, Jumat (5/7).
Catalytic converter. (Foto: Dok. proparts.se) |
Catalytic ConverterCatalytic converter atau katalisator merupakan komponen penyaring gas buang yang dikeluarkan mesin. Komponen ini berada di sistem knalpot, umumnya terdapat di bagian tabung knalpot.
Catalytic converter bertugas menangkap partikel polutan tertentu sebelum gas buang membaur dengan udara yang kita hirup. Komponen ini pertama kali digunakan di mobil-mobil yang dijual di dalam negeri pada 2007, setelah standar Euro 2 diberlakukan.
"Setiap catalytic converter juga punya spesifikasi, sama seperti jenis bahan bakar. Kalau mobil kita Euro 4, tapi bahan bakarnya dikasih Euro 3 ya sebagian tidak tersaring. Data soal itu pasti ada, tapi saya belum pegang, tapi kalau logikanya (emisi yang tidak tersaring) berbeda jauh," ucap Riecky.
Modifikasi KnalpotKondisi lain yang bisa bikin kendaraan menghasilkan emisi lebih buruk, yaitu bila melakukan modifikasi knalpot yang pada umumnya mencopot catalytic converter. Alasan modifikasi seperti itu biasanya dilakukan konsumen untuk meningkatkan performa, menghasilkan suara knalpot lebih nyaring, atau hanya sekadar gaya-gayaan.
Tanpa catalytic converter berarti gas buang tidak bisa dikontrol. Selain itu, menurut penjelasan Riecky, di sistem knalpot juga terdapat sensor oksigen (O2) yang gunanya menghitung jumlah oksigen pada gas buang termasuk mengecek temperatur.
Sensor O2 terhubung ke perangkat Electronic Control Module (ECM) atau sering disebut juga Electronic Control Unit (ECU). Berdasarkan input sensor, ECM bakal mengatur rasio jumlah oksigen dan bahan bakar yang tercampur di mesin.
"Secara logika semua manufaktur membuat peta ECM itu sudah optimal dan aman. Kalau misalnya knalpot diganti yang kemungkinan diikuti modifikasi ECM, seperti penambahan piggyback, emisi bisa saja bertambah," ucap jelas Riecky.
Selain salah menggunakan bahan bakar dan mengubah knalpot, menurut Riecky, modifikasi apapun pada mesin bisa mempengaruhi emisi bahan bakar. Dia menyarankan konsumen tidak melakukannya bila ingin mendapatkan seting pabrikan yang aman.
Anies mengatakan uji emisi kendaraan di Jakarta akan dilakukan pada 2020. Bila tidak sesuai aturan maka warga dikenakan sanksi, salah satu yang disebut adalah kena tarif lebih mahal untuk parkir.
(fea)