Nikkei Asia memberitakan bahwa analis Fitch Solution menjelaskan Indonesia butuh kerja keras dan perjuangan berat mewujudkan impian menjadi produsen besar kendaraan listrik di pasar global.
Dikatakan usaha Indonesia mengembangkan kendaraan listrik kemungkinan terhalang janji pemerintah melindungi lingkungan yang sudah dinyatakan Jokowi saat acara pertemuan para pemimpin dunia konferensi perubahan iklim (COP26) di Glasgow dua pekan lalu.
Jokowi mengatakan kepada para pemimpin dunia bahwa sektor kehutanan dan lahan di Indonesia akan mencapai penyerapan karbon bersih pada 2030.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indonesia juga menandatangani 'Deklarasi Pemimpin Glasgow tentang Hutan dan Penggunaan Lahan' yang berkomitmen menghentikan dan memulihkan hilangnya hutan dan degradasi lahan pada 2030.
Jokowi berjanji memerangi deforestasi, ini dinilai dapat menghambat penambangan cadangan nikel di Indonesia demi melindungi lingkungan.
"Kami percaya bahwa janji ini kemungkinan akan menimbulkan risiko bagi kelanjutan pengembangan rantai pasokan kendaraan listrik Indonesia. Sebab, hal itu dapat menghasilkan lebih banyak birokrasi untuk mendirikan tambang nikel baru dan dapat melihat para penambang negara itu mendapat tekanan tinggi dari pembuat mobil untuk membendung deforestasi," kata Fitch Solutions dalam sebuah laporan baru-baru ini.
Menurut Global Forest Watch, Indonesia menempati urutan kelima negara yang kehilangan pohon tertinggi dari tahun 2001 hingga 2020. Dari 11.700 km persegi hutan primer yang hilang pada 2019, seluas 10.700 km persegi di antaranya hilang karena deforestasi yang didorong komoditas.
"Ini berarti bahwa Indonesia bisa mendapat tekanan besar dari investor dan pemerintah lain, termasuk produsen mobil untuk menghentikan deforestasi karena perusahaan mengadopsi strategi Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG) yang lebih ketat," kata Fitch Solutions.
"Ini kemudian akan menimbulkan risiko bagi rantai pasokan kendaraan listrik global karena Indonesia tetap menjadi komponen kunci untuk rantai pasokan kendaraan listrik di masa depan, terutama dalam hal baterai NMC nikel yang lebih efisien," lanjutnya.
Dilema ini sempat dijelaskan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dalam serangkaian cuitannya ketika COP26 berlangsung. Menurut Siti janji mengubah sektor kehutanan menjadi penyerap karbon bersih pada 2030 tidak boleh ditafsirkan sebagai nol deforestasi.
"Misalnya di Kalimantan dan Sumatera di mana banyak jalan yang tidak tersambung karena harus melewati kawasan hutan. Sementara itu, ada lebih dari 34 ribu desa yang berada di kawasan hutan dan sekitarnya. Jika konsepnya bahwa tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan," tulis dia di Twitter.
"Lalu bagaimana dengan masyarakat, haruskah mereka diisolasi? Pembangunan masif era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi," ungkapnya lagi.
Direktur Pusat Studi Ekonomi dan Hukum, Bhima Yudhistira menafsirkan bahwa bukan tidak mungkin pengembangan industri kendaraan listrik dapat dilakukan sambil memperhatikan janji Indonesia di COP26.
"Pemerintah harus menyadari bahwa sektor pertambangan nikel dari kegiatan eksploitasinya, sudah memiliki dampak lingkungan dan tidak menutup mata hanya karena material menjadi primadona untuk EV. Pemerintah perlu tegas untuk memastikan produksi nikel bisa lebih hijau," sebut Bhima.
(ttf/fea)