Tahun 2018, orang terkaya di dunia Elon Musk ngambek berat pada pemerintah Singapura. Musk yang saat itu sedang giat memasarkan produk Tesla ke pasar Asia mengritik pemerintah Singapura yang menolak memberi subsidi emisi karbon pada unit Tesla yang dijual di sana.
"Singapura tidak ramah pada mobil listrik," kecamnya.
Pemerintah setempat tidak ambil pusing. Menteri Lingkungan dan Sumberdaya Air Masagos Zulkifli menjawab kecaman itu dengan mengatakan bahwa pemerintahnya memilih fokus pada sistem transportasi masal yang andal, nyaman, dan cepat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ditambah pajak kendaraan yang tinggi, publik akan berpikir dua kali untuk memilih kendaraan pribadi. Sehingga beberapa hal sekaligus berhasil diatasi: problem kemacetan, lahan parkir minim, mengurangi emisi karbon kendaraan bermotor, sekaligus memangkas konsumsi BBM.
"Elon itu kan maunya menawarkan gaya hidup", Zulkifli mengecam balik. Lha, pemerintah Singapura maunya solusi menghadapi perubahan iklim.
Diskursus semacam ini tidak pernah muncul di Indonesia, setidaknya yang melibatkan banyak perhatian publik. Tahu-tahu, pekan lalu Presiden mengumumkan terbitnya Inpers No.7/2022 tentang penggantian seluruh kendaraan dinas pejabat pemerintah dengan mobil listrik.
Hari berikutnya, Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Rionald Silaban mengatakan penggantian kendaraan dinas menjadi mobil listrik dilakukan bertahap terhadap 189.803 unit kendaraan di seluruh Indonesia.
Tak ada penjelasan, setidaknya yang bisa ditangkap mudah oleh publik, tentang kenapa konversi ini dianggap penting dan apa target yang ingin dicapai. Yang jelas pemerintah daerah diminta mengalokasikan anggaran untuk penyediaan kendaraan listrik berbasis baterai (battery electric vehicle) ini.
Bisa diduga ini adalah kelanjutan dari keputusan pemerintah memangkas subsidi BBM yang diumumkan dua pekan lalu. Konsumsi BBM gila-gilaan ini memang ditengarai telah mendorong anggaran negara nyaris jebol untuk menutup subsidinya.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan anggaran yang "dibakar" untuk subsidi BBM hanya dari sepeda motor saja mencapai Rp1,2 triliun sehari. Bayangkan, kata Menteri Tasrif, kalau pertumbuhan sepeda motor per tahun adalah 6-8 juta, sementara hari ini jumlah unit sepeda motor sudah 120 juta.
Namun, kalaupun dugaan itu benar, apa hubungannya bakaran subsidi BBM untuk sepeda motor kemudian berujung pada perintah mengalihkan hampir 200 ribu unit kendaraan pemerintah jadi mobil listrik?
Ini yang kurang jelas.
Semua negara di dunia mengalami yang dialami Indonesia: tekanan anggaran negara akibat konsumsi BBM tinggi, persoalan kemacetan, problematika polusi udara dan emisi karbon yang makin membuat parah situasi perubahan iklim.
Bedanya, sebagian kemudian memilih kebijakan dengan memprioritaskan anggaran pada proyek transportasi masal untuk publik.
Alasannya sama persis seperti Pemerintah Singapura: yang dicari solusi dan transportasi publik menyediakan solusi itu. Tidak ada negara maju yang berhasil mengatasi persoalan konsumsi BBM, kemacetan, lahan parkir dan menghindari polusi udara tanpa membangun sistem transportasi publik, terutama yang berbasis kereta.
Saat ini dengan rangkaian kereta listrik KRL, bus Transjakarta dan berikutnya MRT dan LRT, Jakarta mulai mendekati konsep metropolitan dengan fasilitas transport publik agak lumayan.
Masalahnya di luar Jakarta, fasilitas seperti ini nyaris nihil. Sistem transport massal terintegrasi yang sudah dicita-citakan belasan tahun untuk Bandung dan Surabaya, dua kota terbesar setelah Jakarta, belum ada realisasinya sampai sekarang.
Akibatnya, ya tentu saja warga kemudian memilih kendaraan pribadi dan sepeda motor -- dua sarana pembakar subsidi BBM paling andal. Jika ini dibiarkan terus terjadi di semua kota di Indonesia, bisa dipastikan krisis subsidi BBM akan terus berulang.
Migrasi mobil listrik juga akan menimbulkan persoalan baru. Pertama tentu saja anggaran. Harga mobil listrik termurah di Indonesia saat ini kabarnya sekitar 300 jutaan, dengan mobil untuk pejabat tinggi sekitar 700 jutaan.
Kalau kendaraan yang mau diganti mencapai hampir 200 ribu unit, jumlah anggaran belanjanya pasti akan melewati pagu puluhan triliun rupiah.
Belum lagi biaya pembangunan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) yang menurut Kementrian ESDM sampai Juli tahun ini baru mencapai 332 unit charging station, dan 369 unit battery swap dari 60 ribu unit yang dicita-citakan.
Persoalan lain adalah sumber daya listriknya. Sejauh ini dari lebih dari 60 ribu pembangkit listrik di Indonesia lebih dari 62%-nya bersumber batubara, sementara 7% di antaranya malah diesel.
Dus, sumbernya BBM juga -- sangat polutif dan rawan dipengaruhi fluktuasi harga energi dunia.
Menggenjot pemakaian mobil listrik tanpa memastikan lebih dulu kesediaan sumber listrik dari energi terbarukan akan menempatkan anggaran negara pada posisi yang sama: lingkaran beban subsidi BBM tak berkesudahan.
Sejauh ini, orkestrasi KRL (1,2 juta penumpang per hari), MRT (16 ribu) dan bus Transjakarta (60 ribu) meski jauh dari maksimal sudah berhasil membuktikan bisa diandalkan dalam melayani transportasi massal di Jakarta. Subsidi BBM diarahkan pada subsidi tarif dan penyediaan layanan transportasi ini.
Mengapa opsi transportasi massal ini tak diduplikasi untuk daerah di seluruh Indonesia?
Pertanyaan ini yang harus dijawab oleh pemerintah. Dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa proyek infrastruktur sangat sulit menemukan investornya karena pemerintah tak punya cukup anggaran.
Pemerintah perlu menjelaskan. Kalau anggaran tak ada, kenapa justru dipilih proyek ganti mobil listrik yang persinggungannya jauh lebih kecil dengan isu penghematan subsidi BBM, karena tak berpengaruh langsung pada pemakai kendaraan pribadi?
Satu hal lagi yang nyaris sama sekali absen dari pembahasan Inpres No.7/2022 dan pengurangan subsidi BBM lalu adalah target mengatasi persoalan perubahan iklim.
Indonesia mengumumkan komitmen mengurangi emisi karbon dengan beralih pada konsumsi energi terbarukan sebanyak 23% tahun 2025. Saat ini menurut Kementrian ESDM, baru sekitar 12,4% target itu tercapai padahal tinggal tiga tahun ladi tenggatnya tiba.
Di seluruh dunia, pemakaian transportasi menyumbang 26% pada memburuknya perubahan iklim.
Keputusan mengurangi subsidi BBM mestinya bisa jadi momentum sangat baik untuk mendorong isu perubahan iklim muncul ke permukaan, sekaligus menggalang dukungan publik terhadap upaya transisi energi ke sumber terbarukan.
Nyatanya, dalam penjelasan pemerintah maupun aksi demo yang menentang kenaikan harga BBM, nuansa ini tidak pernah muncul.
Seperti Elon Musk, sebagian besar negara di dunia meyakini mobil listrik adalah masa depan transportasi dunia yang ramah lingkungan, efisien dan andal.
Namun transisi pada mobil elektrik dengan bekal instruksi presiden saja tanpa mengindahkan berbagai pertimbangan fungsi transportasi publik yang lebih mendesak, akan memunculkan kesan ini cuma soal gaya bukan solusi sesungguhnya.
(vws)