Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menekankan implementasi standar emisi gas buang Euro 5 atau Euro 6 di Indonesia harus diiringi pemenuhan bahan bakar yang sesuai. Jika tidak, penerapan standar Euro ini menjadi kurang maksimal.
Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumaratak ingin kejadian yang sama terulang seperti penerapan standar emisi Euro 4 tak diimbangi dengan bahan bakar yang sesuai. Ia bilang sampai saat ini masih banyak bahan bakar tak sesuai standar Euro 4 masih beredar di Indonesia.
"Tapi paling penting bahan bakar ada. Karena kalau sudah jalan, kami tentu tidak bisa mundur balik lagi," ucap Kukuh ketika dihubungi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan Peraturan Menteri LHK 20/2017 spesifikasi bahan bakar Euro 4 untuk bensin harus memiliki minimal oktan91 dan kandungan sulfur maksimal 50 serta tanpa timbal. Sedangkan bahan bakar diesel Cetane Number minimal 51, kandungan sulfur maksimal 50 (lima puluh) ppm dan kekentalan paling sedikit 2 mm2/s dan maksimal 4,5 mm2/s.
"Jadi jangan sampai kayak sekarang kita Euro 4 tapi sekarang masih banyak bahan bakar yang masih tidak sesuai. Ini kan mengganggu, mencapai apa yang diharapkan," kata Kukuh.
Hal yang sama diutarakan Guru Besar Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) Puji Lestari dengan menyebut aplikasi Euro harus didukung kualitas bahan bakar yang baik.
Puji mengatakan itu berkaca dari penerapan Euro 4 di Indonesia.
"Jangan teknologinya euro 4, tapi bahan bakarnya biasa," tutur Puji.
Selain itu Puji bilang penerapan Euro 4 di Indonesia sejauh ini belum dilalukan secara merata, sebab fakta di lapangan masih ada kendaraan komersial mengadopsi Euro 2.
Menurut dia, kendaraan berat jumlahnya cukup banyak, mobilitasnya tinggi, serta boros bahan bakar sehingga debu yang dihasilkan juga banyak, begitu juga sepeda motor menyumbang polutan jenis CO jumlahnya juga banyak, untuk itu harus benar-benar dikendalikan emisi gas buang.
Lihat Juga :![]() Edukasi dan Fitur Mengenal Standar Emisi Euro 4, 5, dan 6 |
Terpisah, Yannes Pasaribu, praktisi industri otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), menilai pergantian standarisasi emisi gas buang kendaraan dari Euro 4ke Euro 5 merupakan langkah penting otomotif menyelamatkan lingkungan yang kini berselimut polusi terutama di ibu kota.
Peralihan tersebut sebelumnya sudah diungkapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan tujuan meningkatkan kualitas udara di ibu kota.
"Ini adalah langkah yang dianggap perlu dan penting dalam industri otomotif Indonesia. Salah satu alasan utama untuk beralih ke standar emisi Euro 5 adalah untuk memperbaiki kualitas udara," kata Yannes melalui pesan singkat, Kamis (31/8).
Ia menuturkan Euro 5 memiliki ambang batas emisi lebih ketat terhadap mesin bensin dan diesel. Hal ini yang ujungnya memberi dampak lebih baik terhadap lingkungan karena bisa membantu mengurangi polusi udara.
"Euro 5 memiliki batasan emisi yang lebih ketat dibandingkan dengan Euro 4, terutama dalam hal nitrogen oksida (NOx) dan partikulat. Dengan menerapkan Euro 5, kendaraan akan menghasilkan emisi yang lebih rendah, membantu mengurangi polusi udara yang merugikan kesehatan manusia dan lingkungan," ucap Yannes.
Ia membeberkan data yang menunjukkan kendaraan menjadi kontributor utama polusi sehingga implementasi Euro 5 wajib dipertimbangkan.
Menurut Yannes kendaraan bermotor menjadi penyumbang polusi udara yang kontribusinya 44 persen dengan polutan Nitrogen Oksida (NOx), Karbon Monoksida (CO) dan Partikulat (PM).
Kontributor terbesar lainnya PLTU batubara 34 persen dengan polutan Sulfur dioksida, Nitrogen oksida dan Partikulat.
Sementara itu Bob Azam, Wakil Presiden Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) menilai peralihan standar emisi Euro ke level lebih tinggi seperti arahan Jokowi merupakan konsep industri yang baik.
Kata dia ini dapat membantu mengurangi emisi gas buang dan menurunkan tingkat polusi udara.
"Jadi sebetulnya untuk kota yang padat harus pakai kualitas bahan bakar yang baik," kata Bob.
Ia bilang Indonesia juga seharusnya dapat mencontoh Thailand di mana mereka memiliki visi yang tepat untuk industri dan lingkungan. Kata Bob pemerintah Thailand tak perlu menunggu "bencana lingkungan" datang dalam merombak standar emisi.
"Seperti Thailand, kan dia tidak punya problem lingkungan, tapi kok dia pindahin dari 5 ke 6, karena dia punya visi. Kalau kita tunggu bencana dulu," ucap Bob.
Bob bilang dengan mengubah standar emisi tersebut, dampak yang dihasilkan bukan cuma udara bersih, melainkan juga dapat meningkatkan penghasilan dari sektor pariwisata. Sebab, Indonesia dapat memiliki nilai tambah di mata dunia yaitu kualitas udara yang baik.