Aksi Predatory Pricing dan Dampak ke Industri Otomotif RI
Toyota buka suara soal fenomena "banting harga" mobil yang dalam beberapa waktu terjadi di Indonesia. Raksasa otomotif Jepang ini menyebut praktik itu tak hanya memberi akan dampak negatif bagi industri, tapi juga terhadap keberlangsungan tenaga kerja hingga ekosistem pendukung otomotif nasional.
Bob Azam, Wakil Presiden Direktur Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) mengatakan industri otomotif dalam negeri berpeluang menghadapi risiko serius jika 'dosa' atas persaingan harga ini tidak dikawal dengan tepat.
"Jadi industri harus bersaing, karena persaingan itu akan menguntungkan konsumen, itu hukumnya. Tapi ada hukum kedua, persaingan itu harus dijaga, persaingan yang sehat. Nah persaingan enggak sehat bagaimana, yang mengacu dengan harga dan ekosistem," kata Bob pekan lalu ditemui di GIIAS 2025, ICE BSD.
Industri otomotif nasional saat ini sedang dikejutkan melalui maraknya aksi pangkas harga jual mobil dari sejumlah merek asal China seperti MG, BAIC, Neta, Jetour. Selisih penurunan harga itu bervariasi, mulai puluhan sampai ratusan juta rupiah dari banderol awal diluncurkan.
Di tengah kesibukan perusahaan otomotif China pangkas harga jual mobil, tiba-tiba BYD meluncurkan mobil listrik termurahnya, Atto1 yang dijual Rp195 juta dan Rp235 juta.
Harga OTR itu lebih murah dari penetapan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) produk BYD berkode EQ-ETD-1 diduga Atto 1 yaitu Rp218 juta dan Rp233 juta.
Toyota menyebut apa yang terjadi sekarang berpotensi menjadi implementasi persaingan tidak sehat yang mengarah pada predatory pricing, yakni strategi menurunkan harga hingga sangat rendah sebagai upaya memenangkan atau menyingkirkan pesaing.
"Jadi praktek yang namanya, predatory pricing itu harus dihindari, atau dilarang. Bukan hanya di Indonesia, tapi di beberapa negara kan dilarang. Bahkan di China sendiri mereka kepusingan dengan fenomena seperti itu," ucapnya.
Ia memperingatkan jika fenomena ini dibiarkan, industri otomotif akan dapat menerima dampak negatif untuk semua aspek.
"Nah ini harus cepat jangan sampai industrinya, ya ancur duluan. Karena nanti dia akan hantam use car (mobil bekas) industri, di mana di kita itu ada 1,8 juta (potensi pasar) dan itu juga menyerap tenaga kerja, after market, ada bengkel dan sebagainya. Itu dampaknya luas," ucap Bob.
"Jadi oke, keliatan konsumen akan menikmati (banting harga, tapi itu) jangka pendek, jangka panjang dia akan membayar. Padahal yang menikmati hanya sebagian kecil konsumen kita," katanya menambahkan.
Lihat Juga : |
Ia pun berharap pemerintah dapat mengambil sikap dengan potensi persaingan tak sehat pada industri otomotif Indonesia yang diduga sedang berjalan.
"Bagaimana industri kita diprotek dari praktek predatory pricing karena itu persaingan enggak sehat, turunin harga, industri hancur, ya dia doang yang jadi pemain. Itu yang harus dijaga oleh regulator," katanya.
Lebih dari itu Bob juga memperingatkan dampak lain dari upaya membangun kemandirian industri mobil listrik nasional. Hal ini berkaca dari nilai komponen mobil listrik yang jauh lebih sedikit dari produk konvensional, sehingga itu menjadi peluang akan keberlangsungan tenaga kerja di masa mendatang.
Baginya juga industri otomotif yang telah berjalan lama di Indonesia, dinilai memiliki banyak kelebihan sebab dapat menghasilkan produk berdaya saing global.
"Jadi kembali lagi as long, EV me-create new market, industri, dan bukan sebaliknya malah mematikan industri. Its oke itu kan teknologi. Yang jangan, pengembangan (EV) itu mematikan industri yang ada. Terus dibilang industri kita enggak efisien. Padahal industri kita udah bisa ekspor. Kalau enggak efisien enggak bisa ekspor," tutup Bob.
(ryh/mik)