Jakarta, CNN Indonesia -- Kalian pasti tidak asing lagi dengan nama Multatuli. Nama ini sering kita baca di buku pelajaran sejarah. Beliau adalah seorang berkebangsaan Belanda yang menentang kolonialisme yang dilakukan bangsanya sendiri di Indonesia.
Multatuli ini bernama asli Eduard Douwes Dekker. Dia lahir di Amsterdam, 2 Maret 1820. Yap, kita bicara tentang Multatuli karena kemarin ulang tahunnya diperingati.
Dekker pernah menjabat sebagai asisten residen di Lebak, Banten pada zaman penjajahan. Ia dikirim ke sana dalam rangka perdagangan kopi. Di sanalah ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana pribumi diperas oleh Belanda dan bahkan oleh pribumi yang memiliki kedudukan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dekker geram atas perlakuan yang dianggapnya melanggar nilai-nilai kemanusiaan itu dan melapor kepada atasannya di Belanda. Alih-alih didengar, Dekker malah dimutasi ke daerah lain.
Dia kemudian memutuskan mundur dan kembali ke Belanda. Di negeri bunga tulip ini, Dekker menuliskan kekecewaannya melalui buku yang berjudul "Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij" ("Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda").
Buku ini mengkisahkan saat Belanda gencar melakukan
cultuur stelsel atau tanam paksa yang dicanangkan oleh Van den Bosch. Wilayah pertanian di Indonesia wajib ditanami komoditas ekspor (salah satunya kopi), hasilnya dibeli dengan murah oleh pemerintah kolonial, dan rakyat tetap dikenakan pajak wilayah. Akibatnya, rakyat pribumi hidup dengan sangat miskin dan kelaparan.
Max Havelaar dipublikasikan pada tahun 1860 dan Douwes Dekker menggunakan nama samaran Multatuli, yang dalam bahasa Latin memiliki arti “Aku yang menderita”.
Meski beberapa mengkritik gaya penulisannya, buku ini menjadi sorotan dunia terutama Eropa. Buku ini menyadarkan mereka bahwa di balik kehidupan mereka yang sejahtera, ada rakyat jajahan yang bekerja keras untuk mereka dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.
Max Havelaar menginspirasi segelintir orang Belanda , salah satunya adalah Van Deventer dengan artikelnya yang berjudul “Een Eerschuld” (Utang Budi). Ia menilai pemerintah kolonial berutang budi pada rakyat Hindia Belanda.
Akhirnya pada Januari 1901, Ratu Wilhelmina mengesahkan politik etis. Program itu terdiri dari tiga proyek yaitu pengairan, pendidikan, dan pemerataan jumlah penduduk.
Eduard Douwes Dekker alias Multatuli kemudian pindah ke Ingelheim am Rhein, Jerman dan meninggal pada 19 Februari 1887 di Nieder Ingelheim.
Kalian tahu, Multatuli ini punya cucu bernama Ernest Francois Eugene Douwes Dekker yang sangat terkenal di Indonesia. Cucunya ini lebih dikenal dengan nama Danudirdja Setiabudi.
Pemerintah menganugerahi Danudirdja Setiabudi dengan gelar Pahlawan Nasional karena perannya pada masa perebutan kemerdekaan Indonesia.
(ded/ded)