Jakarta, CNN Indonesia -- Seperti biasa, setiap memulai tahun, negara akan menjalankan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) rumusan dari pemerintah. Tahun ini, yang dijalankan adalah APBN 2016. Tapi ada yang unik pada anggaran tahun ini.
APBN ini rupanya memungkinkan terjadinya pemangkasan belanja yang disesuaikan dengan realisasi pos penerimaannya. Hal ini cukup menuai kontroversi. Soalnya, itu mencerminkan bahwa pemerintah kita menyadari bahwa dari sisi penerimaan ada masalah pada APBN ini.
Target Penerimaan Negara baik dari pajak mau pun non-pajak, khususnya pendapatan dari bagi hasil minyak mengalami kendala. Artinya, semua asumsi yang dibuat dalam pos penerimaan dalam APBN 2016 dinilai belum mampu untuk menjangkau targetnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bambang Brodjonegoro selaku Menteri Keuangan menyatakan bahwa pemerintah akan merevisi target penerimaan pajak yang diluncurkan dalam APBNP 2016, yang semula Rp 1.360,2 triliun menjadi sekitar Rp 1.226,94 triliun. Kemudian penerimaan bukan pajak, yang semula ditargetkan sebesar Rp 52 triliun, dalam realisasinya hanya mampu mencapai Rp 29,6 triliun.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan kondisi yang terjadi di tahun 2015, sisi penerimaan pajak meleset sebesar Rp 248,9 triliun dari target sebesar Rp 1.489,3 triliun. Ditambah dengan adanya pembengkakan defisit anggaran menjadi 2,8 persen dari target awal 1,9%.
Mundur sedikit, di tahun 2014, penerimaan pajak turun sebesar Rp 142,9 triliun dari target awal Rp 1.246,1 triliun. Pemerintah merealisasikan Rp 1.148.9 triliun berdasar data release Kementerian Keuangan.
Kemudian, kejadian yang serupa juga terjadi pada tahun sebelumnya, berdasarkan data Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPKRI) tahun 2013, sisi penerimaan pajak turun sebesar Rp 167,9 triliun dari target sebesar Rp 1.488,4 triliun, atau hanya mampu mencapai Rp 980,5 triliun. Kemudian, adanya pembengkakan defisit anggaran menjadi 2,4 persen atau naik sebesar 80,4 triliun dari target defisit RAPBN 2013 sebesar 153,3 triliun menjadi Rp 233,7 triliun.
Dalam menyikapi hal demikian pemerintah melakukan pemangkasan anggaran belanja negara sebesar Rp 200 triliun sampai 290 triliun dalam APBNP 2016. Menurut Haryo Kuncoro selaku pengamat ekonomi dari Universitas Negeri Jakarta, pemotongan belanja ini sangat berisiko. Dalam kacamata ekonomi, pemangkasan ini akan berdampak pada menurunnya stimulus APBN.
Padahal belanja negara menciptakan
multiplier effect yang berhilir pada pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan pemerataan pendapatan. Kemudian dalam kaca mata politik, masalah ini berdampak kepada kredibilitas kebijakan fiskal.
APBN dikatakan kredibel, jika anggaran yang direncanakan sama dengan realisasinya, boleh meleset sedikit tetapi tidak boleh terlalu jauh. Semakin meleset berarti semakin tidak kredibel. Namun pada kenyataanya APBN Indonesia terus meleset selama 10 tahun terakhir belakangan ini.
Padahal kredibilitas APBN ini menjadi sentimen bagi para investor. Kalau APBN terus meleset dari realisasinya, investor akan terguncang. Perlu kita ketahui bersama bahwa sebelum para investor menanamkan modalnya di Indonesia mereka akan melihat terlebih dahulu APBN-nya, apakah realisasinya sudah sesuai dengan rencana awal atau tidak.
Kita umpamakan, jika di awal pemerintah menargetkan besaran belanja negara sebesar Rp 1.000 triliun untuk bidang infrastruktur, ternyata pada realisasinya hanya mencapai Rp 800 triliun. Sudah tentu para investor akan gigit jari karena sektor yang mereka investasikan tidak sesuai dengan besaran anggaran di awal.
Untuk itu diperlukan adanya penguatan kembali kredibilitas APBN. Kredibilitas sangatlah diperlukan untuk membentuk kepercayaan masyarakat khususnya para investor agar mereka tetap mau menanamkan modalnya di Indonesia.
Kredibilitas itu sendiri dapat diperkuat dari para pembuat dan dalam pelaksanaannya di lapangan. Sudah saatnya pemerintah mengambil tindakan untuk membangun kredibilitas kebijakan yang mereka buat. Selain itu, perlu juga adanya pengkajian mengenai kredibiltas suatu kebijakan yang akan diterapkan agar investor tidak kabur.
(ded/ded)