Mencari Sang Burung Surga dari Kofiau

Rudyanto | CNN Indonesia
Selasa, 05 Apr 2016 16:44 WIB
Di Pulau Kofiau, Kabupaten Raja Ampat, ada sejenis burung endemik yang cantik tapi pemalu. Inilah burung yang dijuluki 'Burung Surga'.
Burung Cekakak-pita Kofiau, yang dijuluki burung surga di Raja Ampat, Papua. (Dok. Naftali Manggara/BLUD UPTD Raja Ampat)
Jakarta, CNN Indonesia -- Di tengah Laut Halmahera, di antara daratan Pulau Papua dan Pulau Halmahera, ada sebuah pulau yang sekilas bentuknya mirip dengan Paus sperma yang sedang berenang diiringi oleh ikan-ikan pengikutnya. Pulau kecil ini memiliki garis pantai sekitar 80-an kilometer. Inilah Pulau Kofiau.

Pulau ini berbukit-bukit di sebelah barat, tetapi relatif datar di sebelah timur dan pulau ini relatif masih tertutup hutan, dengan kebun kelapa di beberapa tempat. Pulau Kofiau adalah sebuah pulau kecil yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Raja Ampat.

Jika kita berbicara tentang Raja Ampat, maka kita langsung membayangkan keindahan alam bawah laut dan pantai-pantainya. Tetapi sesungguhnya Raja Ampat juga memiliki keindahan lain di atas air, di pulau-pulaunya, yaitu burung.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Raja Ampat memiliki lima jenis burung yang tidak terdapat di tempat lain di dunia. Dua di antaranya terdapat di Pulau Kofiau (endemik Kofiau) yaitu Kehicap kofiau (Monarcha julianae) dan Cekakak-pita Kofiau (Tanysiptera ellioti).

Cekakak-pita kofiau adalah salah satu jenis burung yang paling dicari dalam keluarga Raja udang. Warna bulunya indah, tetapi karena sifat pemalunya, burung ini tidak begitu saja dapat dilihat selain karena ia hanya terdapat di Kofiau yang tidak mudah dijangkau. Karena keindahan bulunya, ia dianggap sebagai salah satu burung dari surga dan dalam Bahasa Inggris, burung ini diberi nama Kofiau Paradise-Kingfisher atau sang raja udang surga dari Kofiau.

Kesempatan untuk melihat sang raja udang dari surga ini datang ketika saya menerima undangan dari The Nature Conservancy (TNC), sebuah lembaga pelestarian alam, untuk ikut dalam kegiatan pemantauan kesehatan karang dan ikan (Reef Health Monitoring – RHM) di Kofiau.

Jadwal kemudian disusun agar kegiatan pencarian sang raja udang surga ini tidak mengganggu jadwal kegiatan RHM. Saya sangat beruntung karena di dalam tim RHM ada Naftali, pemuda dari kampung Deer di Kofiau yang piawai menyelam tetapi juga hafal semua burung yang ada di Kofiau. Dari Naftali saya mendapat informasi ke mana saya harus pergi untuk bertemu dengan sang raja udang.

“Kita bisa cari dahulu di sekitar Telaga Yenyar, jika tak ada nanti kita cari di hutan sekitar Kampung Mikiran,” begitu saran Naftali dan saya mengiyakan saja. Begitulah, pagi itu sekitar pukul 06.00 WIT, rombongan kecil kami yang terdiri dari enam orang itu meninggalkan Kampung Deer yang terletak di Pulau Deer menuju Telaga Yenyar (Ada pula yang menyebutnya dengan nama Danau Dore) yang terletak di Pulau Kofiau.

Penyeberangannya singkat saja, tak sampai lima belas menit, dan dari pantai kami harus berjalan kaki sekitar setengah jam menuju Telaga Yenyar. Sepanjang perjalanan pendek pagi itu, kami ditemani kicauan ramai dari burung-burung seperti Kipasan kebun (Rhipidura leucophrys), teriakan serak dari burung-burung paruh bengkok seperti Kakatua koki (Cacatua galerita), Nuri bayan (Eclectus roratus) dan Nuri kalung ungu (Eos squamata), serta deram bernada rendah dari Pergam kelabu (Ducula pistrinaria).

Telaga Yenyar adalah telaga kecil berair tawar yang tenang dan dikelilingi hutan. Tidak mudah tampaknya jika ingin berjalan kaki mengelilingi danau yang memiliki keliling sekitar 2,5 km ini.

Kami memutuskan untuk melihat-lihat sekitar bagian barat danau ini saja. Sementara di ujung timur telaga, puluhan burung Cikalang sibuk menyambar-nyambar ikan di telaga.

Di sisi barat telaga ini kami melihat tiga pasang burung Titihan telaga (Tachybaptus ruficollis) yang sedang bersarang. Sejauh ini tidak terlihat tanda-tanda dari sang raja udang, kami memutuskan untuk menunggu beberapa jam di tepi telaga sembari mengamati tingkah Titihan telaga dan burung-burung lain yang ramai di sekitar telaga.

Pada saat kami memutuskan untuk berpindah tempat pengamatan ke Mikiran untuk mencari sang raja udang, sepasang Umukia raja (Tadorna radjah) yang cantik muncul dari ceruk telaga. Sayangnya tidak lama kami dapat menikmati pemandangan Umukia raja ini karena mereka terbang ke sisi telaga yang tak dapat dilihat.

Tadinya kami hendak berjalan menyusur pantai saja menuju Mikiran, tetapi tumpangan yang ditawarkan untuk menggunakan perahu bermotor tampaknya lebih menarik di hari yang mulai terik.

Tak lama kami berperahu, kami tiba di Kampung Mikiran dan tak ada istirahat di sini karena kami langsung berjalan menuju hutan. Di jalan menuju hutan ini kami bertemu dengan beberapa penduduk kampung yang tengah membuat sagu yang membuat kami berhenti sejenak untuk mendokumentasikan prosesnya.

Perjalanan menuju hutan di tepi kebun ini sedikit lebih berat dibandingkan dengan perjalanan menuju Telaga Yenyang, ada tanjakan panjang yang harus dilalui. Dalam perjalanan itu kami sangat beruntung karena dapat melihat Kehicap kofiau yang di dunia hanya dapat ditemui di Kofiau saja.

Naftali dengan berseri-seri menunjukkan kepada kami burung lincah, cerewet dan tak mau berhenti bergerak tersebut, dan sesekali ia mengambil gambar dengan kamera kecilnya. Tak hendak berlama-lama, Naftali seolah menyeret kami untuk bergegas menuju tempat sang raja udang.

Adalah struktur tanah bekas sarang rayap yang menempel di batang utama pohon dengan ketinggian sekitar 3 meter dari tanah. Naftali menunjuk struktur tersebut sambil berkata bahwa itu adalah sarang sang raja udang dan di dalamnya ada anaknya.

Kami mendengar ciap lirih dari dalam sarang itu, tetapi sang raja udang tidak tampak. Naftali meminta kami untuk bersembunyi di dekat sarang sementara ia akan mencoba “menggiring” sang induk ke sarangnya. Cukup lama kami menunggu, sang raja udang tak juga muncul, alih-alih malah Naftali yang muncul sambil bertanya.

“Sudah lihat? Tadi burungnya ada di sana dan dia terbang ke mari.” Kami yang kebingungan menggeleng separuh kecewa. Tapi Naftali hanya tersenyum dan mengajak kami mencari lagi karena sang burung pasti tak jauh-jauh dari tempat itu.

Maka berjalanlah kami dengan perlahan sambil memasang mata awas, mencari sang raja udang. Tiba-tiba Naftali berhenti dan menunjuk-nunjuk dengan senyum lebar menghias wajahnya yang tampak sangat gembira. Di sana, tak jauh dari kami, Cekakak-pita kofiau, sang raja udang dari surga itu, sedang bertengger diam dengan kepala agak mendongak pongah.

Warna biru terang dan putih tubuhnya sedikit kotor serta merah terang paruhnya tampak cantik dengan latar belakang warna hijau hutan. Ekornya yang putih dan panjang seperti pita membuatnya dinamai Cekakak-pita.

Lumayan lama kami mengamati dan mengambil beberapa foto dari burung yang cantik ini. Puas rasanya dapat melihat sang raja udang dari surga ini di alam bebas dengan keelokannya yang lengkap, tidak hanya dari warna sang burung saja tetapi juga dari keadaan lingkungan di sekitarnya yang seolah menguatkan keelokan burung ini. Di dalam hati saya berkata, nanti malam saya bisa tidur tenang.

Kofiau tak hanya memiliki alam serta mahluk bawah laut yang cantik, ia juga memiliki alam serta mahluk daratan yang elok. Semoga saja burung yang di dunia ini hanya dapat dijumpai di Kofiau dapat terus menghiasi hutan Kofiau sebagaimana karang dan ikan menghias alam bawah laut Kofiau. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER