Jakarta, CNN Indonesia -- Politikus Partai Keadilan Bangsa Abdul Kadir Karding mengatakan hasil rapat konsultasi tertutup antara pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan fraksi-fraksi memperlihatkan ada lima fraksi yang menginginkan musyawarah mufakat untuk pemilihan pimpinan alat kelengkapan dewan kelak.
"Semua rata-rata ada sembilan fraksi, lima ingin musyawarah mufakat, empat lainnya minta segera dilaksanakan," ujar Abdul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (16/10).
Saat ditanya wartawan fraksi apa saja yang menginginkan musyawarah, Abdul menyebut Partai Golongan Karya, selain partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mungkin karena pertemuan Pak Ical (Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie) dan Pak Joko Widodo," ujarnya saat ditanya alasan perubahan sikap Golkar.
Politikus senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Pramono Anung juga mengatakan sejumlah fraksi yang tergabung di Koalisi Merah Putih lebih menginginkan mekanisme musyawarah mufakat.
"Sekarang ada perkembangan baru, yang sebelumnya praktis hanya mau paket sekarang ini titik beratnya adalah musyawarah," ujar Pramono.
Pramono mengatakan, dalam rapat tersebut ada beberapa alternatif mekanisme yang diajukan seperti apakah akan kembali pada pola yang sudah diterapkan lima tahun lalu atau akan ada pola baru yang dikemukakan.
"Kalau tidak bermusyawarah, sebenarnya tidak bisa ambil keputusan karena terbelah menjadi lima dan lima (fraksi), padahal syarat dalam pasal 28 mengenai tata cara pengambilan keputusan itu harus lebih dari lima fraksi," ujarnya. "Kalau hanya separuh, tidak boleh. Maka ruang musyawarah menjadi sangat besar."
Wakil Ketua DPR Agus Hermanto mengatakan dewan akan mengutamakan musyawarah mufakat dalam pemilihan pimpinan alat kelengkapan dewan.
"Harus kuorum fraksi dan anggota. Mau musyawarat atau voting persyaratannya harus kuorum, setengah plus satu fraksinya dan anggotanya setengah plus satu juga," ujar politikus Partai Demokrat tersebut.
Namun, kalau dalam lobi nanti masih tidak ada jalan keluar, maka musyawarah mufakat akan ditukar dengan mekanisme pengambilan suara yang dalam hal ini berbentuk sistem paket. Pengambilan suarapun tetap mengharuskan adanya kuorum sebelum dijalankan.
Untuk penempatan anggota alat kelengkapan dewan sendiri, diputuskan akan dilaksanakan Selasa (21/10) pukul 14.00 WIB dalam sidang paripurna. Penundaan ini disebabkan belum siapnya beberapa fraksi memberikan nama pada Sekretariat Jenderal DPR.
Pemerintahan Jokowi Bisa Diperlambat
Dugaan bahwa koalisi partai pendukung Prabowo akan menyapu bersih mungkin saja akan terkikis jika melihat kemungkinan musyawarah jadi pilihan pengambilan keputusan. Namun kepastian musyawarah untuk memilih komposisi komisi belum bisa dipastikan sebelum diketok dalam paripurna.
Lalu bagaimana jika kemudiam koalisi itu menguasai seluruh alat kelengkapan DPR RI? Pengamat hukum tata negara, Refly Harun, menilai apabila seluruh pimpinan alat kelengkapan dewan dikuasai oleh koalisi Prabowo, maka kebijakan pemerintahan Jokowi terancam diperlambat. "Kalau misalnya KMP tidak suka kebijakan itu ya akan diperlambat bahkan bisa tidak disidangkan," katanya di Jakarta, Kamis (16/10).
Refly mengatakan meski kedaulatan parlemen berada di tangan anggota, namun pimpinan-pimpinan alat kelengkapan ini adalah orang yang bisa mempercepat proses pembahasan kebijakan. Apabila pimpinan dewan maupun pimpinan alat kelengkapan bisa terkoneksi baik dengan pemerintah maka pemerintahan Jokowi-JK dapat meminta pembahasan kebijakan di parlemen dipercepat.
Namun begitu, terbelahnya eksekutif dan legislatif seperti saat ini dipandang baik oleh pengamat politik CSIS, Phillip J. Vermonte. Menurutnya sepanjang yang dilakukan oleh legislatif adalah dalam rangka mengontrol pemerintahan dari sisi kebijakan maka hal tersebut baik adanya.
"Tapi bukan dengan mengubah aturan main seperti yang dilakukan kemarin," kata Phillip.
Phillip juga mengungkapkan meski nantinya alat kelengkapan dewan dikuasai koalisi Prabowo, bila kebijakan Jokowi adalah baik untuk rakyat maka parlemen tidak akan bisa menghadang. Namun bila sebaliknya apa yang dilakukan Jokowi dipandang tidak baik, maka parlemen memiliki hak konstitusional untuk mengkritisinya.
Babak baru antara Koalisi Indonesia Hebat dengan Koalisi Merah Putih harus dimulai usai pelantikan presiden 20 Oktober mendatang. Ia menjelaskan apa yang terjadi hari ini tidak perlu dikhawatirkan berlebihan karena dinamika politik yang terjadi saat ini masih sangat mungkin berubah.
Berkaca pengalaman di 2004 silam sempat terjadi
deadlock antara Koalisi Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan. Kala itu parlemen dikuasai oleh Partai Golkar dan PDI Perjuangan, sementara Demokrat hanya memiliki tujuh persen suara, malahan alat kelengkapan dewan juga tidak terbentuk selama beberapa bulan. Namun peta politik lantas berubah usai Partai Golkar mengadakan munas dan memasangkan Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden bersama dengan SBY dari Partai Demokrat.