WARISAN POLITIK SBY

Jokowi dan Catatan Pemerintahan SBY

CNN Indonesia
Senin, 20 Okt 2014 12:14 WIB
Sejak terpilih tahun 2004, ada banyak catatan kebaikan dan kekurangan di masa Susilo Bambang Yudhoyono selama dua periode pemerintahannya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kiri) menunjukkan ruang kerja presiden kepada Presiden terpilih Joko Widodo (kanan) di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Minggu (19/10). (CNN Indonesia/Antara Photo/ Widodo S. Jusuf)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintahan SBY selama 10 tahun lamanya tentu meninggalkan jejak yang cukup panjang. Sejak terpilih tahun 2004 dan mengakhirinya tahun ini, ada banyak catatan kebaikan dan kekurangan di masa jabatan dua periode tersebut.

Bagi Jokowi yang akan menggantikan SBY, paling tidak untuk lima tahun ke depan, tentu penting untuk menimbang catatan-catatan tersebut. Hal ini menjadi tantangan bagi Jokowi karena harapannya adalah bahwa catatan baik dari masa SBY akan berlanjut dan catatan buruk akan mendapat perhatian untuk perbaikan.

Jokowi dan Catatan-catatan baik pemerintahan SBY
SBY terpilih dengan mandat publik yang kuat melalui pemilihan presiden langsung yang pertama kali dilakukan tahun 2004. Bahkan sebagai petahana di tahun 2009, SBY menang telak dalam pemilihan presiden. Hal ini menandakan tingkat dukungan publik yang solid dan pemberian reward atas persepsi tentang kinerjanya selama 2004-2009.

Harus diakui bahwa SBY berhasil mengembalikan sense of political stability di Indonesia. Ketika terpilih pertama kali, Indonesia baru berjarak lima tahun dari situasi 1998-1999 yang penuh dengan pertikaian politik, struggle for power antara kekuatan-kekuatan pro demokrasi dan kekuatan rezim lama Orde Baru yang mencoba bertahan. Megawati dan PDI-P yang menang pemilu legislatif 1999  tidak serta merta menjadi presiden karena akrobat politik Poros Tengah yang dinahkodai Amien Rais tidak menghendakinya dan kemudian menjadikan Abdurahman Wahid sebagai presiden. Sejarah mencatat, Poros Tengah yang sama menghentikan Abdurrahman Wahid di tengah masa jabatannya dan menaikkan Megawati menjadi presiden. Situasi politik carut marut semacam itulah yang menandai lima tahun pertama demokrasi kita.

Terpilihnya SBY sebagai presiden pada tahun 2004 bisa dikatakan melembagakan proses politik kita bahwa hanya cara elektoral melalui pemilu yang paling sah ditempuh bagi siapapun yang ingin mencapai kekuasaan dan dengan itu stabilitas politik bisa dikembalikan.

Presiden SBY juga mengembalikan sense of stability di bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang stabil dan konsisten, kurang lebih rata-rata enam persen menjadi indikatornya. Indonesia pun menjadi anggota G-20, yaitu kelompok negara-negara di dunia yang dianggap memiliki kekuatan ekonomi signifikan. Pendapatan per kapita kita meningkat kurang lebih tiga kali lipat dalam periode 2004-2012. Di tahun 2004 pendapatan per kapita kita adalah US$ 1.161, sementara di tahun 2012 angkatan tercatat sebagai US$ 3.557. Dengan pendapatan per kapita yang meningkat ini, jumlah kelas menengah, yang sebagian besar pengkaji demokrasi berpendapat bahwa ia adalah elemen penting dalam menjaga demokrasi, juga bertambah.

Walaupun demikian, di bidang ekonomi juga terdapat beberapa catatan penting bahwa angka ketimpangan, yang direpresentasikan oleh Gini Index, di beberapa tahun terakhir periode kedua SBY justru membesar. Demikian pula angka kematian ibu melahirkan yang meningkat beberapa tahun terakhir. Artinya, basic service delivery kepada kelompok masyarakat yang lebih miskin memburuk di tahun-tahun terakhir pemerintahan SBY.

Oleh karena itu, kewajiban pemerintahan Jokowi adalah, paling tidak, mempertahankan capaian ekonomi yang dibuat oleh pemerintahan dua periode SBY apabila sulit untuk membuatnya menjadi lebih baik. Dan tampaknya hal itu tidak akan mudah.

Di tengah situasi ekonomi dunia yang kurang menguntungkan – Amerika Serikat belum pulih sepenuhnya dari krisis yang mendera sejak 2008, dan juga ekonomi Eropa yang melemah -, ekonomi kita mengalami penurunan. Beberapa forecast bahkan memperkirakan bahwa di akhir tahun 2014 ini (artinya dua bulan setelah Jokowi dilantik) pertumbuhan ekonomi Indonesia amat mungkin turun menjadi kurang lebih 5 persen saja.

Jokowi-JK melakukan kampanye dengan platform populis, yang tentu menarik dukungan dari masyarakat pada kelompok yang secara ekonomi lebih rendah. Dengan budget constraint yang dimiliki (karena antara lain besarnya komponen subsidi BBM dalam anggaran belanja kita) dan realita koalisi di DPR yang sejauh ini terlihat memiliki determinasi untuk menjadi sangat kritis terhadap pemerintahan Jokowi, tentu termasuk di dalamnya budget approval, maka tantangan terbesar adalah bagaimana Jokowi-JK mengelola hubungan dengan DPR.  Jokowi-JK perlu membangun jembatan kepada DPR demi menegosiasikan program-program pembangunan dari pihak eksekutif (kepresidenan) dengan pihak legislatif (DPR). Dari sini maka dapatlah kita menghubungkannya dengan beberapa catatan terkait dengan bidang politik di masa SBY.

Catatan persoalan politik dari masa SBY
Presiden SBY menjalankan pemerintahan periodenya selama dua periode dengan membangun perlindungan politik dengan cara membangun koalisi “gemuk”, yaitu mengakomodasi sebagian besar partai ke dalam kabinetnya. Di satu sisi SBY membentengi pemerintahannya, di sisi lain ia menciptakan situasi dan pendidikan politik yang buruk. Dengan diakomodasinya partai-partai yang notabene kalah pemilu, maka partai-partai politik Indonesia tidak lagi takut kalah pemilu. Padahal, sejatinya, pemilu adalah mahkamah rakyat untuk menghukum partai politik yang dianggap tidak berkinerja baik dengan cara tidak memilihnya dan mengalihkan dukungan pada partai lain. Karena akomodasi yang diberikan SBY, partai politik terputus hubungan akuntabilitasnya dari para pemilih karena walaupun kalah pemilu tetap mendapat porsi kekuasaan dalam kabinet SBY.

Selama masa kampanye, Jokowi mengajukan ide penting yaitu menolak pembentukan koalisi gemuk ala SBY dan memilih untuk membentuk koalisi ramping. Apabila ia konsisten dengan janjinya ini, maka Jokowi akan melembagakan tradisi baru dalam politik di Indonesia yaitu tradisi oposisi. Partai-partai yang kalah pemilu tak perlu melakukan bargaining untuk ikut serta dalam kekuasaan eksekutif dan memilih menjadi oposisi di cabang kekuasaan legislatif. Sejauh ini, hanya PDIP yang konsisten selama 10 tahun berada di luar pemerintahan SBY dan menjalankan peran oposisi.

Kemenangan PDIP dalam pemilu legislatif 2014, yang sedikit banyak juga terjadi karena popularitas Jokowi, juga menandai sebuah era demokratis di Indonesia yaitu era di mana sekarang semua kekuatan politik bisa yakin bahwa menjadi oposisi tidak berarti mati dan bisa kembali ke kekuasaan.

Kemenangan PDIP itu juga memberi penanda penting kepada semua aktor politik di Indonesia bahwa hanya cara elektoral yang harus disepakati sebagai satu-satunya aturan main politik satu-satunya, tidak lagi dengan cara-cara non-elektoral yang tidak demokratis. Kemenangan PDIP juga memberi pelajaran bahwa pihak yang berkuasa tidak diperkenankan mematikan oposisi.

Pemberantasan korupsi adalah satu arena di mana pengalaman penting dari pemerintahan SBY perlu dipelajari. Citra Partai Demokrat rusak karena kasus-kasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh utamanya. Satu hal unik adalah sebagai presiden, SBY relatif tidak melakukan intervensi untuk membela dan melindungi tokoh-tokoh dan pimpinan Partai Demokrat yang terlibat kasus korupsi, baik Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh ataupun Nazarudin. Karena itu, Partai Demokrat telah membayar amat mahal dengan kehilangan dukungan yang sangat signifikan pada pemilu 2014 lalu. Terlepas dari apapun motivasi SBY, presiden yang tidak melakukan intervensi dalam kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota partainya sendiri adalah presiden yang kita butuhkan. Karena itu, Jokowi-JK harus menunjukan komitmen serupa dalam hal pemberantasan korupsi.

Terakhir, pemerintahan SBY boleh jadi dicatat sebagai pemerintahan di mana perlindungan terhadap kelompok minoritas berada pada titik yang rendah. Di masa pemerintahannya terjadi kekerasan atas kelompok-kelompok minoritas, di antaranya adalah kelompok Ahmadiyah dan juga Syiah. Kasus-kasus penutupan gereja secara paksa juga terjadi di masa pemerintahan SBY. Dalam sebagian besar persoalan ini, kesalahan justru ditimpakan kepada kelompok minoritas sendiri (blaming the victims). Padahal, negara wajib memberikan perlindungan terhadap segenap warga negara dari kekerasan yang dilakukan oleh siapapun termasuk oleh sesama warga negara. Karena, sejatinya demokrasi yang matang adalah demokrasi yang  bisa mencegah tirani atas nama mayoritas. Hanya melalui penegakan hukum yang konsisten maka pemerintahan Jokowi-JK bisa memperbaiki titik lemah SBY di masa berkuasanya ini.

*Ketua Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS Jakarta
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER