Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Tanggal 20 Oktober 2014, Joko Widodo dan Jusuf Kalla dilantik sebagai presiden-wakil presiden Republik Indonesia untuk lima tahun ke depan. Sejumlah pihak khawatir bahwa akan terjadi gangguan bahkan upaya untuk menggagalkan acara pelantikan Jokowi-JK oleh Koalisi Merah Putih (KMP). KMP adalah gabungan partai politik pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada pemilu presiden Juli 2014 yang lalu. Tapi ketakutan itu tak terbukti.
Lepas dari soal pelantikan, Indonesia telah memasuki sejarah politik baru pada pemilu 2014 ini. Inilah pertama kali Indonesia memasuki era “pemerintahan yang terbelah” (
divided government). Pemerintahan terbelah adalah suatu kondisi politik di mana eksekutif dan legislatif dikuasai oleh kekuatan politik yang berbeda. Lawan dari pemerintahan terbelah adalah “pemerintahan yang menyatu” (
unified government). Contoh dari pemerintahan menyatu di Indonesia adalah periode kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono lima tahun lalu, di mana Partai Demokrat menguasai lembaga eksekutif dan legislatif pada saat bersamaan.
Memang pada era kepresidenan SBY yang pertama (2004-2009), DPR dikuasai Golkar, di mana ketua DPR waktu itu dijabat Agung Laksono dari Golkar. Anggota DPR terbanyak juga dari Golkar. Namun, situasi tidak dapat disebut pemerintahan terbelah mengingat banyak menteri berasal dari Golkar. Apalagi Jusuf Kalla, wapres SBY pada era tersebut, juga merebut kursi ketua umum Golkar. Dalam kacamata ini, era SBY-JK sebetulnya dapat dikategorikan “
unified government”.
Secara teoritis, pemerintahan terbelah berpotensi menyulitkan presiden berkuasa untuk menyelenggarakan pemerintahan. Betapa tidak, pembuatan undang-undang, APBN dan penunjukan sejumlah pejabat negara seperti Panglima TNI, Kapolri, dan duta besar, membutuhkan kerjasama dan persetujuan DPR. Atas nama fungsi pengawasan, DPR juga dapat meminta hak interpelasi, angket, dan aneka jurus lain untuk mengganggu keputusan dan kebijakan pemerintah. Jika partai pendukung presiden mendominasi parlemen, tentu lebih mudah mendapatkan dukungan. Namun, demikian pula sebaliknya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengalaman Indonesia menunjukkan tarik-menarik kekuatan antara presiden dan parlemen tidak dapat dianggap remeh. Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, pernah terjadi sengketa penunjukkan Chaeruddin Ismail sebagai Kapolri yang tidak diterima DPR. Tarik-menarik ini bahkan menyebabkan keretakan internal Polri.
Memang konflik Gus Dur dan parlemen di masa lalu dapat menjadi indikator bahwa jika hubungan presiden dan parlemen tidak harmonis, jagad politik bisa repot. Namun untungnya, Jokowi bukan Gus Dur dan tidak menunjukkan gelagat perilaku politik yang sama dengan Gus Dur. Harus dicatat bahwa membesarnya konflik presiden-DPR sebagian besar disebabkan oleh gaya politik Gus Dur yang sangat konfliktual dengan partai politik sehingga Gus Dur terlalu banyak menciptakan musuh politik.
Soal hubungan Gus Dur versus parlemen, jadi pelajaran penting bagi Jokowi bahwa ia harus pandai-pandai membangun komunikasi politik dengan elite partai, terutama dari KMP. Sampai sejauh ini, Jokowi adalah figur yang kuat di bawah, tapi lemah di atas. Jokowi populer di masyarakat bawah, tapi tidak begitu populer di kalangan elite politik. Sebagian ini disebabkan oleh latar belakang Jokowi yang datang dari daerah. Sebagian lagi disebabkan oleh latar keluarganya yang tidak punya “trah”. Apapun alasannya, logis atau tidak logis alasan itu, yang terpenting Jokowi ingin menyelenggarakan pemerintahan dengan lancar. Dan itu membutuhkan dukungan elite. Karenanya Jokowi harus menyisihkan waktu untuk “blusukan elite”, disamping blusukan rakyat yang sudah jadi “
trademark”-nya.
Jurus lain untuk lolos dari kepungan elite politik adalah merekrut partai-partai anggota KMP untuk masuk kabinet. Jurus ini dipakai oleh SBY dalam dua kali pemerintahannya. Terutama masa 2004-2009 ketika Koalisi Kerakyatan yang mendukung SBY-JK hanya menguasai 20 persen kursi parlemen. Pada saat ini SBY menempuh langkah pragmatis dengan mengajak Golkar, PPP, dan semua partai lain di Koalisi Kebangsaan yang menjadi lawannya untuk masuk kabinet, kecuali PDI Perjuangan yang memang menolak.
Lebih dari itu, SBY bahkan melepaskan JK, wakil presidennya, untuk merebut kursi Ketua Umum Golkar dari tangan Akbar Tanjung. Namun dua jurus terakhir ini sulit dipakai oleh Jokowi. Pertama, dia sudah berjanji tidak akan memasukkan semua partai. Kedua, slot menteri dari partai hanya 15 kursi. Ketiga, partai-partai anggota KMP cukup solid untuk bertahan tidak mau masuk kabinet. Keempat, Jokowi tidak ingin menteri rangkap jabatan di partai politik, apalagi sebagai ketua umum supaya bisa konsentrasi pada tugasnya.
Jurus terakhir yang bisa dipakai Jokowi untuk berhadapan dengan elite adalah memelihara dukungan dari kalangan masyarakat biasa. Hal ini bisa dilakukan dengan membuat program kerja yang baik sehingga didukung oleh publik. Namun dukungan dari masyarakat tidak bisa terus menerus dilakukan karena masyarakat akan kembali pada kehidupan dan urusan sehari-harinya. Di sisi lain, “menyodorkan” masyarakat dalam proses-proses kontestasi politik beresiko menimbulkan bentrokan massa karena akan memancing kelompok masyarakat pendukung pihak sebelah untuk juga turun ke jalanan.
Dengan demikian, jurus politik yang terpenting dan dapat dikembangkan Jokowi adalah “blusukan elite”, baik dengan makan malam, kongkow-kongkow, atau format lobi politik lainnya.
* Direktur Eksekutif Indo Barometer, Jakarta