Jakarta, CNN Indonesia -- Apabila kisruh DPR tak kunjung usai, Wakil Presiden, Jusuf Kalla, mengatakan pimpinan negara harus turut campur. Namun saat ini pemerintah masih memberikan kesempatan bagi anggota DPR untuk bermusyawarah mengupayakan perdamaian.
“Pertama, teman-teman DPR dulu yang bermusyawarah. Kalau tidak bisa, tentu pemimpin negara harus ikut serta. Tapi sementara ini teman-teman berusaha musyawarah dulu sampai minggu depan," katanya seusai menghadiri pembukaan Munas Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Sabtu (1/11).
Kalla memang tak merinci langkah apa yang akan ditempuh pimpinan negara itu. Namun ihwal gagalnya rekonsiliasi, ia menilai sebenarnya secara prinsip kedua kubu sudah mau untuk berembug. Namun dalam implementasi memang belum lancar. “Ini kan di tingkat pelaksanaanya, tinggal pelaksanaan lebih intensif lagi,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bekas orang nomor satu di Partai Golkar ini berharap tidak ada pimpinan DPR tandingan. Menurut dia, segala perbedaan yang muncul masih bisa dimusyawarahkan. "Kami berharap adanya persatuan yang hanya bisa dicapai dengan musyawarah yang baik dan adil," katanya.
Terbentuknya alat kelengkapan dewan dengan komposisi 100 persen diambil oleh kubu Koalisi Merah Putih (KMP), membuat Koalisi Indonesia Hebat merasa ditinggalkan dan tidak dianggap.
Jumat (31/10), Koalisi Indonesia Hebat menggelar sidang paripurna tandingan dengan merumuskan mosi tidak percaya kepada pimpinan DPR. Koalisi tersebut juga menilai perlu menetapkan pimpinan DPR yang baru untuk menjalankan roda organisasi atau kelembagaan DPR berasaskan musyawarah.
"Kami melihat tidak konsistennya, setiap persidangan, dan di dalam pengambilan keputusan, ada pengabaian asas yang terkandung dalam UU MD3 dan tata tertib," ujar anggota DPR fraksi PDI Perjuangan Effendi Simbolon di Restoran Warung Daun, Jakarta, Sabtu (1/11). Asas tersebut, menurut Effendi adalah musyawarah mufakat. Perbedaan antara dua kubu itu kini membelah DPR. Alhasil, kecabuhan pun lantas tak terelakkan.