Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah telah berupaya keras mencegah terjadinya praktik politik dinasti di Indonesia. Namun sayang, upaya tersebut kandas di hadapan hukum yang berlaku di negara ini.
Pemerintah sebelumnya telah berupaya mencegah timbulnya politik dinasti di Indonesia melalui pembuatan peraturan pada Pasal 7 huruf (r) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 .
Pasal itu berbunyi agar calon kepala daerah "tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana." Konflik kepentingan yang dimaksud adalah, para calon kepala daerah nantinya dilarang memiliki hubungan kekerabatan akibat hubungan darah atau pernikahan dengan kepala daerah yang sedang menjabat saat pilkada berlangsung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun Mahkamah Konstitusi (MK) melalui sidang putusan perkara nomor 33/PUU-XIII/2015, menganulir larangan seorang calon kepala daerah berkonflik kepentingan dengan petahana (Kepala Daerah yang sedang menjabat), yang disematkan dalam UU Nomor 8 Tahun 2015. Peraturan tersebut pun batal sebelum sempat diterapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam Pilkada serentak tahun ini.
Jika sejenak melihat ke belakang, perjuangan dalam membuat larangan keluarga petahana untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah telah dimulai sejak UU Nomor 8 tahun 2015 disahkan pada 9 Februari lalu.
Setelah disahkannya UU Nomor 8 Tahun 2015, Komisi Pemilihan Umum pun langsung bereaksi dengan melakukan penyusunan draf peraturan KPU (PKPU). Enam PKPU pun berhasil diselesaikan oleh lembaga penyelenggara pemilu itu sebelum semester I 2015 berakhir.
Sayang, PKPU yang mengatur tentang pencalonan kepala daerah belum kunjung diselesaikan oleh KPU sampai saat ini. Padahal, Ddalam Pasal 4 huruf (q) PKPU Nomor 9 Tahun 2015 yang dibuat, KPU telah mengatur bahwa calon kepala daerah harus "tidak memiliki konflik kepentingan dengan Petahana."
Segera setelah UU Nomor 8 tahun 2015 dan beberapa PKPU diselesaikan, larangan terhadap keluarga petahana untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah pun menuai reaksi dari publik. Hingga akhirnya, seorang anggota DPRD Kabupaten Gowa bernama Adnan Purichta Ichsan, yang juga berstatus anak Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo, mengajukan gugatan terhadap pasal 7 huruf (r) UU Nomor 8 tahun 2015 pada awal Maret lalu.
Gugatan atas pasal 7 huruf (r) UU Nomor 8 Tahun 2015 diajukan oleh Adnan kepada MK. Menurut kuasa hukum Adnan yang merupakan mantan komisioner KPU Sulsel, Mappinawang, larangan bagi keluarga petahana untuk menjadi calon kepala daerah telah menyalahi hak asasi berpolitik seseorang.
"Bila anak bupati memiliki kemampuan untuk memimpin daerahnya kira-kira di mana merugikannya? Pilkada tersebut, kan, dikembalikan kepada rakyat. Tentunya rakyat yang menentukan layak atau tidak seseorang itu memimpin daerahnya," ujar Mappinawang, Mei lalu.
Setelah diproses selama 4 bulan, gugatan Adnan pun dikabulkan oleh MK. Pasca terbitnya keputusan MK yang menganulir Pasal 7 huruf (r) UU Nomor 8 tahun 2015, Pemerintah dan KPU pun harus kembali melakukan perombakan terhadap dasar hukum pelaksanaan Pilkada di Indonesia. Berakhirnya perjuangan pemerintah untuk mencegah praktik politik dinasti di Indonesia tiba seiring dengan semakin dekatnya akhir Ramadan pada tahun ini.
(hel)