Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak keras RUU KPK usulan DPR yang sempat disinggung dalam rapat Badan Legislasi, Selasa (6/10). Dalam pernyatan resmi saat jumpa pers, Pelaksana Tugas Ketua KPK Taufiequrachman Ruki membacakan enam poin penolakan tersebut.
Poin pertama, masa kerja KPK tak boleh ditentukan dalam hitungan angka. "Tidak perlu dilakukan pembatasan masa kerja KPK yang disebutkan di situ (RUU KPK) paling lama 12 tahun sesuai Pasal 2 angka 2 TAP MPR No 8/2001 MPR RI mengamanatkan pembentukkan KPK dan tidak disebutkan adanya pembatasan waktu," kata Rukie.
Menambahkan Ruki, Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji mengatakan ada distorsi pemaknaan kelembagaan KPK. Menurutnya, lembaga adhoc berbeda dengan lembaga ad interm."Sejarah pembentukan UU KPK, kalau memang kita sepakat ad hoc itu sama sekali tidak berbasis durasi tapi untuk maksud dan kondisi," kata Indriyanto. Lembaga antirasuah, menurutnya, dapat ditutup jika korupsi bersih dan tak ditemukan di Indonesia.
Selanjutnya, pada poin kedua, pimpinan menekankan pada penghapusan kewenangan penuntutan oleh DPR. "Tidak perlu dihapuskan kewenangan penuntutan karena proses penuntutan yang dilakukan KPK merupakan bagian tidak terpisahkan penanganan perkara terintigerasi," kata Ruki.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama 12 tahun berdiri, Ruki menegaskan KPK telah membuktikan ada kerja sama yang baik penyelidik, penyidik, dan penuntut umum. Sejak tahun 2004 hingga semester I tahun 2015, KPK berhasil menggelar penuntutan 350 perkara dan sebanyak 297 perkara telah inkracht (berkekuatan hukum tetap). Sementara 313 perkara telah dieksekusi.
Poin ketiga adalah pembatasan penanganan perkara oleh KPK dimana kerugian negara harus di atas Rp50 miliar. "Ini tidak mendasar karena KPK fokus kepada subjek hukum, bukan kepada kerugian negara yaitu subjek hukum penyelenggara negara TAP MPR 11/1999 uu 28/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN," katanya.
Poin selanjutnya, terkait penyadapan. Rukie menilai kewenangan sadap dalam RUU KPK usulan DPR justru tak efisien. Akuntabilitas penyadapan melalui perizininan Pengadilan Negeri seperti termaktub dalam Pasal 14 RUU KPK itu pun dinilai melemahkan KPK. KPK yang selama ini melakukan operasi tangkap tangan dalam masa penyelidikan, justru dapat terhambat dengan izin tersebut.
"Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2003, kewenangan penyadapan KPK tidak melanggar konstitusi sehingga perlu dipertahankan," kata Rukie.
Selama ini, Rukie berpendapat kewenangan penyadapan justru menyokong keberhasilan KPK memberantas korupsi. Jika dicabut, jelas akan melemahkan upaya-upaya pembersihan Indonesia dari korupsi.
"Penyadapan itu legal by regulated (legal diatur dalam undang-undang), bukan court order (perintah pengadilan). Bukan izin pengadilan," ujar Ruki.
Kemudian, peraturan terkait penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan. Rukie tak sepakat jika wewenang SP3 diberikan kepada komisi antirasuah tanpa batasan yang jelas. Rukie mengklaim penyelidikan yang dilakukan KPK telah sesuai prosedur.
"KPK tetap tidak memiliki SP3 kecuali limitaitif disebutkan, satu, tersangka/terdakwa meninggal dunia, kalau meninggal mau tidak mau penydiikan dihentikan. Kedua, tersangka tidak layak diperiska di pengadilan atau unfit to stand trial," ujarnya.
Poin terakhir, Ruki menjelaskan KPK harus diberikan kewenangan rekrutmen pegawai mandiri termasuk mengangkat penyelidik, penyidik, dan penuntut umum. Seluruh pegawai harus diangkat langsung oleh pimpinan KPK berdasar kompetensi. "Bukan status sebagai polisi atau jaksa tapi kompetensi yang dimilikinya," ucapnya.
"Kami menolak keras usulan ini. Ini justru melemahkan kewenangan KPK," kata Ruki kembali menegaskan.
[Gambas:Video CNN]