Jakarta, CNN Indonesia -- Sebagai barometer politik nasional, DKI Jakarta sudah menjadi sorotan khusus dalam pertarungan pemilihan kepala daerah 2017. Serupa dengan daerah-daerah lain, di Jakarta calon petahana atau incumbent alias kepala daerah yang masih menjabat, di atas kertas memiliki kans jauh lebih besar untuk menang.
Dalam pilkada serentak di 77 daerah yang digelar kedua kalinya ini, tercatat jumlah total pasangan sebanyak 215, yang terdiri dari 47 pasangan calon perseorangan dan 168 pasangan calon dari jalur partai politik. Jumlah petahana yang bakal berlaga sebanyak 68.
Menilik hasil pilkada 2015 yang tersebar di 268 daerah, sebanyak 122 orang merupakan petahana, baik kepala daerah maupun wakil kepala daerah. Dari jumlah tersebut lebih dari 70 persen atau mayoritas dimenangkan oleh kandidat petahana. Bahkan tak sedikit yang menang mutlak. Trennya, incumbent banyak memenangi perebutan kursi kepala daerah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mendominasinya kemenangan petahana tersebut disebabkan sejumlah faktor keunggulan yang turut menyertainya, di antaranya popularitas dibandingkan calon lainnya untuk mendulang suara.
Tak hanya karena lebih populer, petahana juga memiliki fasilitas dan tunjangan yang melekat yang bisa dimanfaatkan. Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri Widodo Sigit Pudjianto bahkan mengakui bahwa setidaknya petahana mempunyai kebijakan mengarahkan alokasi anggaran dengan motif keuntungan pribadi untuk memenangkan pertarungan pilkada.
Lebih dari itu, program-program yang dilakukan petahana juga bisa dikamuflase menjadi gerakan kampanye untuk menarik simpati publik. Petahana mempunyai akses yang besar misalnya dalam pertemuan dengan warga PKK, pemberian bantuan sosial, ketika menjalankan program pembangunan, saat apel hingga ketika menggelar rapat-rapat kerja dengan jajaran.
Dengan kata lain, petahana dapat saja memobilisasi para pegawai negeri sipil untuk memberi dukungan. Widodo membeberkan bermacam keuntungan dan keunggulan yang melekat pada diri petahana itu saat hadir di persidangan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi Pasal 70 ayat 3 yang diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 yang diajukan Gubernur Ahok.
Pengajuan judicial review Ahok tersebut terkait kewajiban calon petahana cuti selama masa kampanye. Ahok merasa keberatan karena dalam pasal itu mewajibkan dirinya mengajukan cuti empat bulan selama masa kampanye. Ahok berdalih ia mempunyai kewajiban memimpin Jakarta sehingga kalau harus cuti terlalu lama baginya dapat mengganggu jalannya kinerja pemerintahan Jakarta.
Banyak kalangan yang menduga —utamanya pihak-pihak yang berseberangan dengan Ahok— berkerasnya Ahok tak ingin diwajibkan cuti terlalu lama karena bakal kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan posisinya sebagai petahana.
Keunggulan calon petahana memang berbanding lurus dengan hasil bermacam survei yang menunjukkan tingginya elektabilitas petahana. Dalam berbagai survei, Ahok selalu merajai dengan meraih posisi teratas dibandingkan calon-calon lain dalam bursa pesta demokrasi Jakarta.
Dalam polling termutakhir yang digelar CNNIndonesia.com via media sosial Twitter sejak Jumat malam hingga Sabtu pagi (24/9), duet Ahok-Dajrot unggul jauh di atas lawan-lawannya. Dari 2.857 responden yang mengikuti polling, Ahok-Djarot meraih 66 persen suara, diikuti Anies Baswedan-Sandiaga Uno sebanyak 18 persen, dan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni 16 persen.
Pertanyaan muncul, mampukah pasangan Agus Harimurti-Sylviana Murni dan duet Anies Baswedan-Sandiaga Uno menjungkalkan “berhala” survei yang selama ini mengunggulkan Ahok dengan menumbangkan sang petahana seperti pada hasil pilkada Jakarta 2012 lalu?
Pada pilkada 2012 lalu, pasangan kandidat petahana Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli yang disokong tujuh partai berhasil dijungkalkan oleh pasangan Joko Widodo-Ahok yang hanya didukung dua partai. Dengan selisih 351.315 (7,65%) suara, pasangan Jokowi-Ahok meraup suara terbanyak dalam putaran kedua.
Pilkada Jakarta 2012 dengan 2017 memang memiliki perbedaan, baik situasi maupun kondisi. Namun bila menarik benang merah, mempunyai kesamaan yang tampak jelas. Duet Jokowi-Ahok muncul di menit-menit akhir penutupan pendaftaran di KPUD. Pun demikian dengan duet Agus-Sylviana dan Anies-Sandiaga yang nama mereka muncul menjelang penutupan pendaftaran.
Kemiripan realitas lain, Jokowi-Ahok ketika itu secara figur dan popularitas di ibu kota kalah dibanding Foke-Nara. Dalam pilkada sekarang, sosok dan kepopuleran pasangan Agus-Sylviana dan Anies-Sandiaga juga berada di bawah Ahok-Djarot.
Spirit kesamaan itu yang saat ini dijadikan modal kepercayaan diri sekaligus optimisme oleh dua kubu penentang Ahok untuk dapat menaklukkan petahana. Wakil Sekjen Partai Gerindra Aryo Djojohadikusumo yang partainya hanya didukung oleh PKS dalam mengusung Anies dan Sandiaga mengaku sangat optimistis kejadian kekalahan petahana di 2012 bisa terulang lagi di 2017.
Begitu juga kalangan partai pengusung Agus-Sylviana, Partai Demokrat, meyakini mampu menumbangkan petahana dengan mengacu pada hasil pilkada Jakarta 2012. Wakil Sekjen Partai Demokrat Ramadhan Pohan bahkan sangat yakin poros Cikeas mampu mengalahkan petahana. Baginya, petahana tak bisa dikalahkan cuma mitos, dan partainya tidak mempercayai mitos itu. Kekalahan petahana Foke-Nara, bagi Ramadhan sebagai bukti nyata.
Tentunya bermodal kepercayaan diri, harapan, dan optimisme saja tidak cukup. Mutlak diperlukan bermacam strategi khusus. Peneliti senior dari Indonesian Institute For Development Democracy (INDED) Arif Susanto menekankan untuk bisa mengalahkan Ahok-Djarot diperlukan cara-cara yang khusus.
Bahkan menurut Arif, lawan yang memiliki lumayan kepopuleran seperti Anies Baswedan belum tentu bisa mengalahkan popularitas Ahok. Karena itu sangat dibutuhkan terobosan-terobosan yang brilian. Bagaimana caranya? Salah satunya melawan Ahok dengan ide-ide milik Ahok itu sendiri.
(obs)