London, CNN Indonesia -- Selama 10 tahun badan antariksa Eropa merencanakan perjalanan mengejar komet dengan memperhitungkan beberapa aspek, soal grafitasi, kondisi permukaan, hingga kecepatan yang diperlukan untuk menangkap komet.
"Rosetta akan melakukan berbagai hal yang pertama dalam eksplorasi ruang angkasa, inilah yang membuat Rosetta menjadi misi paling kompleks dan ambisius yang pernah dilakukan manusia,” tulis keterangan resmi ESA.
Komet 67P/Churyumov-Gerasimenko yang menjadi target sudah dipelajari selama beberapa tahun, salah satu tantangan terberat adalah soal daya gravitasi yang jauh lebih rendah dibanding Bumi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Direktur Penerbangan Rosetta, Andrea Accomazzo, berhasil atau tidaknya pendaratan Philae akan bergantung pada pemanfaatan gravitasi buatan yang ada pada Rosetta, pesawat induk yang akan membawa Philae.
Dalam membuat gravitasi ini, Rosetta melakukan sedikit manuver tertentu yang akan memberi tekanan sehingga pesawat lebih mudah melakukan pendaratan.
"Gravity boost dengan manuver Rosetta akan menempatkan kami pada jalur yang benar," ujar Accomazzo dikutip dari Csmonitor.
"Sebelumnya Rosetta telah melakukan hal yang sama di Bumi dengan melakukan tiga kali manuver dan satu kali manuver di Mars untuk memanfaatkan massa planet," lanjutnya.
Selain gravitasi, diameter komet yang hanya sebesar 4 kilometer itu tergolong kecil. Belum lagi soal permukaan komet yang tidak rata, penuh lubang dan bebatuan.
"Jadi mungkin kami tidak mendarat sekali, kami mendarat dua kali," kata manager pendaratan Philae, Stephan Ulamec, seperti dikutip CNN. "Apakah kami mendarat di area berpasir atau terjadi sesuatu yag lain, kami belum paham sepenuhnya."
Hal lain yang menjadi kendala adalah soal pergerakkan komet yang berubah-ubah. Terakhir, saat Philae berhasil mendarat, komet 67P sedang bergerak dengan kecepatan 135 ribu kilometer per jam.