GERHANA MATAHARI TOTAL

Suka Duka Peneliti Mengamati Gerhana Matahari Total 1983

Hani Nur Fajrina | CNN Indonesia
Selasa, 08 Mar 2016 21:23 WIB
Peneliti astronomi Observatorium Bosscha dan Lapan berkisah pengalamannya saat meneliti gerhana matahari total nyaris 33 tahun silam.
Dokumentasi foto Gerhana Matahari Total yang jatuh pada 11 Juni 1983. (Dok. Observatorium Bosscha)
Jakarta, CNN Indonesia -- Gerhana Matahari Total pada tahun 1983 memang fenomenal karena mampu 'menyulap' siang hari menjadi seperti malam. Peneliti astronomi di Observatorium Bosscha, Moedji Raharto berkisah secara singkat saat observasi GMT nyaris 33 tahun silam itu.

11 Juni 1983 adalah waktu terjadinya GMT di Indonesia. Moedji kala itu melakukan pengamatan di Rembang, Jawa Tengah, dengan tim kecilnya. Ia mengaku, peralatan ilmiah yang digunakan juga seadanya, hanya teleskop dan kamera biasa lengkap dengan filter.

Meski tujuannya meneliti, perhatiannya pun tidak lepas dari keadaan masyarakat yang diinstruksikan untuk masuk ke dalam rumah oleh aparat setempat. Diketahui GMT tahun 1983 berlangsung pada siang hari dengan puncak totalitas terjadi sekitar pukul 12 siang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Hari itu banyak warung yang tutup, mau jajan susah. Di jalan raya juga menjelang gerhana para sopir angkutan umum berhenti beroperasi untuk mengantar penumpang," cerita Moedji saat ditemui CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.


Kengerian yang timbul dari imbauan otoritas setempat memang disayangkan oleh Moedji. Di luar itu, ia sangat mengagumi fenomena GMT 1983 yang benar-benar menyulap terik siang menjadi seperti malam.

"Tahun 1983 itu sangat luar biasa. Suasana siang menjadi malam hari. Bintang-bintang sampai terlihat. Hasil jepretan foto yang resolusinya baik juga memperlihatkan korona Matahari yang terlihat," kata Moedji, berdecak kagum.

Dokumentasi foto Gerhana Matahari Total yang jatuh pada 11 Juni 1983. (Dok. Observatorium Bosscha)

Usai gerhana, aktivitas kembali normal walaupun tidak langsung ramai dalam sekejap. Moedji menyatakan, banyak mobil angkutan umum di pinggir jalan namun tidak ada orangnya. Ia mengaku sempat kebingungan saat sedang berjalan menyusuri jalan karena masih sepi.

Menurutnya, jika pemerintah sedikit bisa lebih terbuka terhadap pendapat lain yang menyatakan bahwa banyak siasat lain agar bisa menyaksikan GMT dengan lebih aman, maka tentunya warga bisa menikmati fenomena langka tersebut ramai-ramai di luar.


Hal serupa juga disampaikan oleh Gunawan Admiranto dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Peneliti senior ini kala itu sedang berada di Cepu, Blora, Jawa Tengah.

Ia mengatakan, saat menjelang gerhana, warga diimbau untuk masuk ke dalam rumah. Banyak yang masih penasaran untuk menyaksikan secara langsung, namun mereka akhirnya menuruti anjuran aparat keamanan setempat agar masuk ke rumah.

"Jalanan sepi. Kami yang mengamati juga hanya bermodalkan teleskop dan kamera biasa. Kala itu warga cuma bisa nonton TV, padahal sebenarnya tidak seberbahaya itu asal tidak kelamaan melihatnya (gerhana)," ucap Gunawan.

Kendati menjadi saksi ketatnya imbauan pemerintah terhadap GMT tahun 1983, Gunawan merasa senang bisa menyaksikan fenomena langka tersebut. Menurutnya, gelap yang diciptakan dari totalitas gerhana kala itu juga mirip malam hari yang hanya diterangi oleh sinar Bulan purnama.


Baik Moedji maupun Gunawan mengaku, sangat terbantu dengan kemajuan zaman dan kecanggihan teknologi yang terus berkembang seiringnya waktu, sehingga proses observasi GMT tahun 2016 ini bisa jadi lebih baik lagi.

Menurut Moedji, semakin canggih instrumen ilmiah yang dipakai, tentunya hasil pengamatan bisa diperoleh lebih baik juga. Ia berharap tahun 2016 ada keunikan lain serta menghasilkan data ilmiah baru. (adt)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER