GERHANA MATAHARI TOTAL

Instruksi Soeharto Buat Gerhana Matahari 1983 Mencekam

Hani Nur Fajrina | CNN Indonesia
Selasa, 08 Mar 2016 14:36 WIB
Presiden Soeharto pernah menginstrusikan soal Gerhana Matahari Total pada tahun 1983, yang membuat peristiwa itu mencekam.
Ilustrasi (ANTARA FOTO/Septianda Perdana)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bila Gerhana Matahari Total 2016 disambut gegap gempita maka lain halnya terjadi pada fenomena serupa di tahun 1983. Saat itu, langit pagi yang gelap begitu menakutkan bagi sebagian warga.

Hampir 33 tahun silam, Indonesia pernah disapa oleh Gerhana Matahari Total (GMT), tepatnya pada 11 Juni 1983. Kala itu, GMT berlangsung hanya di Pulau Jawa, lokasi dengan populasi penduduk terbanyak di Indonesia.

Puncak totalitas gerhana berlangsung cukup lama, hampir 7 menit. Kala itu fenomena terjadi pada tengah hari bolong, yaitu sekitar jam 12 siang. Bagaimana tidak heboh, seharusnya terik, tapi secara alami berubah menjadi seperti malam, kata orang-orang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ya, peristiwa ini bisa dikatakan menjadi awal mula anggapan Gerhana Matahari sifatnya "membahayakan" muncul.

Mengapa bahaya? Gerhana Matahari dulu identik dengan kekuatannya yang mampu bikin mata seseorang menjadi buta jika kita berani menatapnya secara langsung.

Anggapan itu malah masih hinggap di benak kebanyakan masyarakat yang mungkin sudah mengalami fenomena menakjubkan pada saat itu.

Tidak afdol rasanya jika tidak turut menengok ke belakang untuk kilas balik peristiwa heboh ini. Seberapa "mencekam" GMT tahun 1983?

Imbauan rezim Soeharto yang instruksional

Peneliti astronomi di Observatorium Bosscha, Moedji Raharto bercerita, pada saat itu pemerintah melakukan perintah mengenai GMT secara instruksional.
Warga semua patuh, ditambah tidak ada pengalaman tentang gerhanaMoedji Raharto, Astronom

Semua informasi ditelan mentah-mentah," cerita Moedji saat berbincang dengan CNN Indonesia.

Warga diperintahkan masuk ke dalam rumah. Lucunya, saat itu adalah hari kerja, namun di sejumlah tempat terpaksa harus menghentikan aktivitas mereka hingga siang hari.

Imbauan tersebut diceritakan Moedji, datang dari banyak pihak seperti Departemen Kesehatan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Penerangan Indonesia (sekarang Kementerian Komunikasi dan Informatika), hingga para dokter. Serangkaian imbauan ini disalurkan ke masyarakat dari jauh-jauh hari, kata Moedji.

"Saya saat itu sedang di Rembang, Jawa Tengah. Petugas keamanan masyarakat setempat terlihat ada yang menjaga lingkungan sekitar. Itu hebatnya kepemimpinan Soeharto, semua orang nurut masuk rumah karena takut. Pengalaman yang mencekam," kisahnya.

Itu semua dilakukan untuk melindungi diri sendiri dari marabahaya, terutama kebutaan. Gerhana Matahari Total, diungkapkan Moedji, memang dipercaya membahayakan kesehatan mata karena sinarnya yang begitu terang. Namun, ada distorsi informasi kala itu.

Penyampaian dari otoritas pada saat itu seakan-akan memang menjadikan bahwa gerhana ini sungguh membahayakan. Padahal menurutnya, GMT masih bisa diamati oleh mata dengan pelindung khusus.
CNN Indonesia/Hani Nur Fajrina

"Efek buta juga tidak terjadi secara langsung, kok. Tapi orang-orang juga musti paham, untuk menyaksikan GMT memang dianjurkan jangan terlalu lama," lanjut Moedji.

Pun begitu dengan apa yang diceritakan oleh peneliti senior Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Gunawan Admiranto. Ia mengatakan, saat ia berada di Cepu, Blora, Jawa Tengah. Imbauan datang dari pemerintah setempat agar tetap berada di dalam rumah.

"Aparat tingkat terbawah sempat mengusir orang-orang yang keluar rumah agar mereka kembali masuk. Mungkin orang-orang jaman dulu terlalu menangkap secara harfiah perintah pemerintah. Minim informasi juga sih, karena belum ada internet," ungkap Gunawan di kesempatan terpisah.

Hal tersebut membuat jalan raya menjadi sepi. Meski begitu, diceritakan Gunawan, warga yang jauh dari jangkauan aparat keamanan masih ada yang nekat keluar rumah untuk mengamati GMT.

"Sisanya ya menonton dari televisi saja," katanya lagi.

Jika membandingkan dengan GMT tahun ini dengan 1983, Moedji berpendapat, ia merasa senang karena pandangan masyarakat tentang gerhana sudah berubah, yakni dari sesuatu yang mencekam menjadi fenomena unik yang ditunggu-tunggu.

Ia juga merasa terkesima dengan upaya pemerintah yang memanfaatkan momentum ini sebagai dorongan pariwisata Tanah Air untuk menarik banyak wisatawan berkunjung.

"Kalau tahun 1983 pariwisatanya juga diekspos, pasti dulu lebih mantap dan gila, sebabGMT 1983 sangat memorable," tutup Moedji. (tyo)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER