Jakarta, CNN Indonesia -- Travis Kalanick dan Garret Camp memang duo pendiri Uber, perusahaan teknologi asal Amerika Serikat. Namun, aplikasi Uber bisa seperti sekarang, jangan lupakan juga Thuan Pham.
Warga AS keturunan Vietnam ini sejak kecil sudah hidup susah dan bahkan akrab dengan kematian. Keberuntungan yang dia dapatkan adalah lolos dari marabahaya yang nyaris merenggut nyawanya.
Kisah pilunya dimulai saat dia berusia 12 tahun. Dia bersama ibu, dan adiknya kabur dari negaranya karena perang yang berkecamuk. Dengan kapal kecil, dia mencoba mencari harapan.
Dia bercerita ketika Saigon bergejolak pada bulan April 1975, suasana kota kacau. Pamannya dikirim ke kamp konsentrasi dan mereka meninggal di sana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Ibuku, adik dan aku meninggalkan rumah di tengah malam. Kami berdesakan sekitar 470 orang pada kapal kayu kecil. Ketika kami berangkat, semua orang muntah,” kenangnya kepada
CNN.
Dalam perjalanan, kapal nelayan yang ditumpangi Pham dihadang gelombang 10 sampai 20-kaki yang menabrak kapalnya. Beruntung nasib baik masih menyertai mereka.
“Suatu hari kami melihat cahaya dan berpikir seseorang melihat kita untuk menyelamatkan kita! Tapi itu bajak laut Thailand. Mereka merampok kami. Tapi kami beruntung. Mereka bisa saja membunuh kami saat itu,” ujarnya.
Rintangan belum berhenti sampai di situ. Para manusia perahu ini sempat bertemu militer Malaysia, mengalami hal buruk oleh Singapura baru kemudian terdampar di salah satu Pulau Indonesia.
Beruntung di negara Indonesia, para imigran ini diperlakukan dengan baik.
Pham berujar,” Kami diperlakukan cukup baik di sana ketika kami tiba. Tapi kemudian kami dibawa ke Kuku Island.”
Di Kuku Island mereka tinggal di kamp pengungsi, dengan tempat seadaanya dan sanitasi yang buruk. Bahkan, beberapa pengungsi lainnya meninggal karena penyakit.
Badan organisasi UNHCR, CARE dan Feed the Children datang memberi bantuan.
Jalan Menuju Tanah HarapanDi kamp pengungsian itu juga, keluarga Pham mendapat secercah harapan untuk mendapatkan suaka di Amerika Serikat.
“Kami memenuhi syarat suaka politik dengan AS karena ayah saya adalah bagian dari Tentara Vietnam Selatan, dan sehingga kita mampu untuk datang ke sini,” cerita Pham.
Mereka akhirnya bisa terbang ke pinggiran kota Maryland, atau tepatnya di Rockville. Bertahan hidup bersama para imigran lainnya, membuat Pham bertekad kuat untuk bisa memperbaiki hidup lebih baik lagi.
Ketekunan dan kecintaannya terhadap komputer membat dia berhasil diterima di Massachusetts Institute of Technology di mana ia belajar ilmu komputer.
Setelah lulus, ia menuju ke Silicon Valley dan menjadi bagian integral transformasi industri teknologi ini.
Melalang buana ke sejumlah perusahaan teknologi, di usianya ke 49 tahun, dia mencapai titik kesuksesan setelah ditunjuk sebagai Chief Technology Officer Uber inc dan membawa puluhan juta penumpang berpergian menggunakan aplikasi Uber.