Jakarta, CNN Indonesia -- Samsung memutuskan untuk menarik kembali dan menghentikan sementara penjualan Galaxy Note 7 di seluruh dunia dalam beberapa hari terakhir. Hal ini dilakukan menyusul adanya laporan mengenai kasus ponsel yang terbakar saat sedang mengisi daya.
Menanggapi isu yang beredar, pihak perusahaan mengakui akan melakukan investigasi mendalam dan menemukan adanya masalah serius pada sel baterai.
Meski tergolong sebagai kasus yang jarang ditemui, pihak perusahaan mencatat sejauh ini sudah ada 35 laporan dari 2,5 juta ponsel yang telah diproduksi. Biasanya, kasus kegagalan baterai terjadi 1 dibanding puluhan juta unit.
Sebagai informasi, mayoritas ponsel pintar saat ini termasuk Galaxy Note 7, menggunakan baterai isi ulang jenis
lithium-ion (Li-ion). Yang menjadikan baterai rentan terbakar yakni reaksi kimia dalam energi padat di dalamnya saat perangkat dioperasikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Donal Finegan, seorang insinyur kimia di Universitas College London seperti dilaporkan
Forbes mencatat kegagalan baterai kerap terjadi karena adanya kenaikan suhu yang relatif drastis.
Hal itu bisa terjadi karena faktor lingkungan, misalnya meletakkan ponsel di dashboard mobil saat cuaca panas, sehingga suhu di luar dapat ditransfer ke baterai dari komponen yang terdapat di dalam ponsel. Proses meningkatnya panas baterai juga bisa disebabkan oleh masalah sel di dalam baterai itu sendiri, seperti halnya yang terjadi pada Galaxy Note 7.
Meski kejadian ini tergolong sangat langka, namun Donal menyebut peningkatan panas juga didorong karena sistem manajemen baterai yang kurang baik. Ponsel pintar saat ini sudah dibekali sebuah chip yang dapat menghentikan arus listrik yang masuk saat baterai telah terisi penuh. Hanya saja ketika chip rusak, maka baterai menjadi seakan-akan sudah penuh.
Hal inilah yang kemudian bisa memicu baterai terbakar hingga mengeluarkan ledakan.
"Selain karena faktor eksternal, faktor internal seperti arus listrik yang masuk dan keluar tidak stabil juga menjadi penyebab baterai mudah terbakar dan meledak," kata Donal.
Plus minus baterai Li-ionSelain ponsel pintar, baterai Li-ion sebenarnya juga dipakai pada perangkat laptop dan mobil pintar. Selain biaya produksi yang lebih murah, dari segi perawatan baterai ini juga terhitung lebih mudah dan tidak mengandung zat berbahaya.
Kelebihan lain dari baterai Li-ion yakni kemampuan mengisi ulang yang bisa mencapai siklus pengisian hingga 1.000 kali. Dengan kata lain densitas energinya cukup tinggi, meski ukurannya relatif lebih kecil.
Hanya saja kemampuan baterai akan menurun, dengan masa pemakaian normal sekitar 3 tahun dari tanggal produksi, meski baterai dalam kondisi tidak dipakai.
Bukan hanya itu, baterai Li-ion juga sangat sensitif terhadap temperatur tinggi. Cuaca panas akan membuat masa pemakaian baterai menjadi cepat habis, yang tentu bisa mempercepat masa pemakaian normal.
Tanpa mekanisme pendinginMeski sama-sama berjenis Li-ion, sayangnya kemampuan baterai ponsel justru lebih rentan dibandingkan pada laptop atau mobil listrik.
Meski sama-sama dihadapkan pada suhu tinggi, baterai Li-ion pada laptop atau mobil listrik memiliki kipas sebagai pendingin. Hal inilah yang membuat panas pada baterai tidak menyebar ke area sekitarnya.
Sementara mekanisme serupa tidak dimiliki oleh telepon genggam. Ketika suhu pada baterai meningkat, panas dengan cepat menyebar ke area luar baterai. Saat hal ini terjadi, maka suhu yang dihasilkan dengan mudah menyebar ke komponan lain di sekitarnya.
Energi padat yang terdapat dalam baterai ditambah suhu panas yang bisa mencapai 100ºC, bisa merusak material yang terdapat di dalamnya. Bahan kimia di dalam baterai akan bereaksi kemudian melepaskan energi sendiri sehingga mempercepat pemanasan.
Menariknya, meski tengah didera insiden cacat baterai, laporan yang dirilis IDC pada April hingga Juni 2016 tetap menempatkan Samsung sebagai penguasa ponsel pintar global dengan pangsa pasar 22 persen.
(evn/tyo)