Jakarta, CNN Indonesia -- Pesawat penjelajah antariksa Schiaparelli hasil kolaborasi Eropa dan Rusia yang dinyatakan berhasil mendarat di Mars pada Rabu (19/10) ternyata cukup membuat tim peneliti harus mengernyitkan dahi lantaran proses pendaratan yang kurang mulus. Bisa dikatakan, badan antariksa Eropa (ESA) dan Roscosmos masih belum bisa mengetahui nasibnya seperti apa.
Pesawat Schiaparelli mengangkasa bersama pesawat induknya, Trace Gas Orbiter (TGO). TGO diketahui telah berada di orbit Mars dan tugasnya memantau pendaratan Schiaparelli.
Nah, ternyata TGO hanya sempat menangkap 6 menit proses pendaratannya, hingga kemudian transmisi terhenti dan menimbulkan tanda tanya mengenai keberadaan cakram seberat 577 kilogram tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini jelas bukan pertanda yang baik," ucap Paolo Ferri, kepala misi European Space Agency (ESA) kepada
Reuters.Namun di sisi lain, ESA menyebut misi utama membawa pesawat induk masuk ke dalam orbit Mars untuk mencari tanda-tanda kehidupan di planet tersebut bisa dikatakan berhasil.
"Terbang ke Mars adalah tantangan yang begitu besar. Terbang dan selamat di orbitnya juga tantangan yang begitu besar," tutur Direktur Jenderal ESA, Jan Woerner.
Walaupun menggunakan sistem pendaratan yang berbeda, Schiaparelli turut menguji coba teknologi untuk misi penjelajahan Planet Merah pada 2020. Sehingga kondisi apa pun yang dapat dialami Schiaparelli saat ini akan mempengaruhi rencana pada 2020.
"Desain sistem ini telah berubah beberapa tahun belakangan. Kami tak akan menggunakan kembali semua teknologi dari Schiaparelli, tentu akan berdampak, tapi tidak begitu dramatis apabila ada kegagalan pada Schiaparelli," ungkap peneliti ESA Olivier Witasse.
Berdasarkan keterangan ESA informasi mengenai Schiaparelli akan tersedia saat para ilmuwan berkesempatan menganalisa data dari pesawat TGO.
Misi kolaborasi ESA dan Roscosmos ini bernama ExoMars yang visinya adalah menemukan kehidupan di sekitar planet. Schiaparelli yang mendarat di Mars tentunya memiliki tugas untuk memperoleh data ilmiah mengenai permukaan Mars. Sementara TGO akan mengobservasi atmosfer si Planet Merah seperti kandungan metana dan lain-lain.
Para ilmuwan percaya bahwa metana yang punya kaitan kuat dengan kehidupan di Bumi, dapat menjadi petunjuk mengenai jejak organisme di Mars.
"Jika ada kehidupan lain dalam tata surya kita selain di bumi, Mars merupakan planet yang paling menarik," kata Woerner.
Bagian kedua misi ExoMars adalah mengirim kendaraan penjelajah pada 2020 ke Mars. Kendaraan yang dikirim nanti akan jadi yang pertama yang bisa bergerak di permukaan planet dan mengebor tanah untuk mengumpulkan sampel.
Biaya dari misi ExoMars termasuk bagian keduanya pada 2020 nanti diperkirakan mencapai 1,3 miliar euro atau sekitar Rp18,5 triliun. Angka itu belum ditambah dengan biaya yang dikeluarkan oleh pihak Rusia.
Mendarat di Mars yang berjarak 56 juta kilometer dari Bumi merupakan tugas sulit. Misi mencari kehidupan Planet Merah yang berkali-kali dilakukan baik itu oleh Eropa, Rusia, maupun NASA kerap berujung kegagalan.
Terlepas dari lingkungan planet yang kurang bersahabat itu, keinginan manusia membangun kehidupan di Mars tak luntur. Salah satunya tercermin dari tulisan Obama di CNN yang menegaskan akan menepati janjinya mengirim manusia ke permukaan Mars pada 2030 nanti.
Ambisi serupa juga terlihat dari pengembangan roket raksasa dan kapsul transportasi ke Mars yang digagas oleh SpaceX yang dikepalai Elon Musk. Bahkan Musk lebih ambisius dengan berencana mendaratkan kru pertamanya di Mars pada 2024.
(evn)