Revisi Pasal Karet di UU ITE Tak Menyelesaikan Masalah

Bintoro Agung | CNN Indonesia
Kamis, 27 Okt 2016 14:41 WIB
"Ini bukan perubahan substansi. Mengurangi masa pidananya tidak menyelesaikan masalah yang ada," ucap pihak LBH Pers.
Ilustrasi.
Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menilai revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informatika dan Transaksi Elektronik (RUU Revisi UU ITE) tak mengubah substansi masalah yang berpotensi timbul. Ketentuan penghinaan atau pencemaran nama baik pada pasal 27 ayat 3 atau yang biasa disebut "pasal karet" menjadi inti dari keberatan.

Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi EIektronik (UU ITE) hari ini, Kamis (27/10). LBH Pers pun segera menanggapi keputusan ini.

"Ini bukan perubahan substansi. Mengurangi masa pidananya tidak menyelesaikan masalah yang ada," ucap Kepala Divisi Riset dan Jaringan LBH Pers Asep Komaruddin kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Kamis (27/10).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Asep inti permasalahan revisi UU ITE terletak pada proses perumusan yang sebelum pembahasan sudah bermasalah. Unsur kejelasan, subjektif, dan multitafsir menjadi alasan Asep menolak pemberlakuan revisi.


Ia menilai langkah yang seharusnya diambil pemerintah adalah mencabut pasal karet tersebut dari revisi UU ITE. Regulasi yang membahas pencemaran nama baik yang menurutnya telah diatur dalam KUHP.

"Kalau cuma sebatas itu (revisi pasal 27 ayat 3), ini sama saja duplikasi aturan pencemaran nama baik yang ada di KUHP. Bedanya dengan KUHP, revisi UU ITE cuma mediumnya saja," tutur Asep.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara justru menyebut revisi UU ITE yang dibuat sebagai bentuk perlindungan hukum. Rudiantara bahkan menyebut aturan ini akan mengurangi warga tak bersalah yang menjadi korban pasal karet pencemaran nama baik.

"Dengan revisi ini tidak ada multitafsir karena tuntutan hukum dari maksimal 6 tahun jadi maksmimal 4 tahun. Jadi tidak bisa dditangkap baru ditanya karena semuanya harus ada proses. Lalu deliknya adalah delik aduan," ujar Rudiantara.

Rudiantara dalam cuitan di akun Twitter miliknya menyebut revisi ini sebagai bentuk perlindungan hukum bagi masyarakat dalam pemanfaatan teknologi informasi.


Selain pasal pencemaran nama baik, LBH Pers juga mencermati adanya pasal "right to be forgotten." Asep melihat hak untuk dilupakan di mesin pencari berpotensi dimanfaatkan sejumlah pihak untuk menghapus jejak kejahatannya di masa lalu.

Pasal yang merupakan usulan Komisi I DPR tersebut diakui oleh pemerintah terinspirasi dari sejumlah negara Eropa. Pasal ini adalah poin tambahan yang tertuang di Pasal 26 revisi UU ITE.

Pemerintah dari negara-negara Eropa telah mengizinkan permintaan warganya yang ingin seluruh informasi mengenai diri mereka dihapus dari mesin pencari. Namun LBH Pers justru khawatir hak istimewa seperti itu akan lebih banyak disalahgunakan untuk memusnahkan seluruh berita negatif dari seorang pelaku kejahatan di masa lalu.

Dalam serial cuitannya di Twitter, Rudiantara menyebut 7 perubahan utama yang berhasil ia capai bersama DPR RI. Mulai dari penjelasan ketentuan pencemaran baik, hak untuk dilupakan, hingga sinkronisasi dengan hukum acara KUHAP. (hnf/tyo)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER