Jakarta, CNN Indonesia -- Perusahaan analisis pasar International Data Corporation (IDC) meragukan target US$130 miliar yang dipatok pemerintah terhadap nilai pasar dagang elektronik atau e-commerce di Indonesia.
Keraguan IDC tersebut berangkat dari kondisi e-commerce Indonesia yang saat ini baru bernilai US$18 miliar. Harapan pemerintah tersebut dianggap terlalu muluk-muluk.
"Di industri apa pun pertumbuhan hampir sepuluh kali lipat dalam waktu relatif singkat sangat sulit. Target oleh pemerintah sangat tidak realistis," ujar Country Manager IDC Sudev Bangah dalam pemaparan analisis di Jakarta, Senin (20/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kritik Sudev menyasar langsung terhadap paket kebijakan ekonomi XIV yang diumumkan beberapa pekan lalu oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.
Dalam paket itu, pemerintah menetapkan sejumlah aturan yang dapat menstimulus bisnis e-commerce dalam negeri mencapai nilai pasar US$130 miliar pada 2020 nanti.
Salah satu alasan yang melatarbelakangi keraguan IDC adalah definisi e-commerce yang dipakai pemerintah dinilai tidak jelas. Sudev menilai pemerintah mencampuradukkan pengertian bisnis e-commerce dengan bisnis online lainnya.
"Mereka (pemerintah) bahkan memasukkan nilai
ridesharing dan aplikasi travel ke dalam penghitungan nilai e-commerce," tambah Sudev.
Sejumlah pemain besar bisnis ridesharing seperti Gojek, Uber, dan Grab hingga travel seperti Traveloka memang berkontribusi besar bagi pertumbuhan industri dagang elektronik Tanah Air.
Kesalahapahaman itu, lanjut Sudev, berpengaruh kepada cara hitung nilai pasar saat ini dan proyeksinya. Akibatnya terjadi "double-counting" untuk menilai pasar.
Double-counting terjadi ketika pemerintah menghitung semua komponen transaksi yang terjadi di luar transaksi jual-beli yang sesungguhnya tidak bisa disertakan seperti biaya barang yang dijual.
Padahal jika tak ada
double-counting, nilai pasar e-commerce hanya mencapai US$200 juta pada 2016. Angka tersebut tentunya jauh dari hitungan pemerintah yang mencapai US$18 miliar.
Secara model bisnis, IDC mengaku belum ada perusahaan di Indonesia yang murni 100 persen menjalankan praktik
pure-play e-commerce atau seperti yang dilakukan oleh raksasa Amazon.
Menurut IDC, indikator utama sebuah bisnis online bisa disebut sebagai e-commerce adalah barang yang dijual tidak berasal dari pihak ketiga dan seluruh transaksi terjadi secara online.
"Berdasarkan hasil analisis IDC, hanya Blibli yang paling mendekati definisi e-commerce yang sesungguhnya di Indonesia," imbuhnya.
Seperti yang diketahui, model lanskap e-commerce Indonesia saat ini adalah mayoritas berkonsep "perantara", yakni perusahaan seperti Tokopedia, Bukalapak, atau MatahariMall hanya menjadi tempat opsi berjualan dari
offline ke
online (O2O) saja.
(hnf/tyo)