Jakarta, CNN Indonesia -- Jakarta - Era
Internet of Things semakin dekat. Perangkat-perangkat yang terhubung dengan internet pun telah dikembangkan berbagai perusahaan. Sebagaimana kita tahu, Xiaomi tak hanya membuat smartphone. Di negara asalnya, Xiaomi membuat berbagai perangkat elektronik lain. Mulai dari
rice cooker hingga jam pintar.
Sebelumnya, Xiaomi telah mengumumkan bahwa pihaknya bekerjasama dengan Telkomsel dan TAM untuk membangun ekosistem 4G di Indonesia. Usai acara tersebut, Steven Shi, General Manager Xiaomi for South East Asia and South Pacific, berbagi pada
CNN Indonesia mengenai rencananya membangun bisnis IoT di Indonesia.
IoT langkah penting
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Shi, IoT merupakan bagian dari
core model bisnis Xiaomi. Shi lantas menjelaskan bahwa model bisnis yang dikembangkan Xiaomi berbentuk segitiga. Ketiganya adalah
smartphone, produk ekosistem, dan layanan internet. Sehingga menurutnya, tidak mungkin Xiaomu bisa membangun bisnis yang baik, memberikan performa prima, dan pengalaman konsumen yang baik, tanpa membawa IoT.
"Saat ini kami sudah punya
smartphone di Indonesia. Belum lama ini kami juga telah meluncurkan layanan internet, seperti Mi Roaming, Mi
live streaming. (Dengan demikian) kami ingin memperbaiki pengalaman pengguna Indonesia," jelas Shi. Ini berarti Xiaomi sudah memiliki dua inti bisnis mereka di Indonesia, yakni
smartphone dan layanan internet.
Untuk melengkapi segitiga inti bisnis Xiaomi tadi, Shi menilai perusahaannya perlu membawa ekosistem produkl "Produk-produk ini sebenarnya
basic karena kami mencoba untuk menghubungkan setiap perangkat dengan internet. Kami sebenarnya sedang membangun ekosistem
Internet of Things. Dengan ekosistem ini kita bisa membangun Indonesia yang digital. Itulah visi kami di Indonesia," terangnya lagi.
KendalaNamun mewujudkan niat memang tak semudah menjalaninya. Xiaomi mengaku ada beberapa kendala untuk memasuki pasar IoT Indonesia yang belum mapan.
Pertama soal produk yang tepat untuk pasar di Indonesia. Di negara asalnya, Xiaomi punya beragam perangkat. "Setiap toko bisa ada 300-400 macam produk," terang Shi. Namun, dari ratusan produknya itu, mereka perlu memilih produk yang tepat untuk pasar Indonesia.
Kedua, masalah sertifikasi lokal alias TKDN. Menurutnnya, kendala sertifikasi ini adalah soal lamanya proses sertifikasi. Akibatnya, terjadi tenggang waktu yang cukup lama untuk memasukkan produk baru Xiaomi ke Indonesia. "Tapi, sejauh ini kami telah melihat
progress yang sangat besar dari pemerintah. Semakin cepat mereka selesai maka semakin cepat juga
gap dari peluncuran (di Cina) untuk dibawa ke Indonesia."
Tanggung jawab sosial
Meski mengakui mendapatkan sertifikasi lokal atau TKDN tidak mudah, Xiaomi tetap memandang regulasi ini positif. Sebab, regulasi ini membuat perusahaan memiliki tanggung jawab sosial kepada masyarakat setempat.
"Visi kami sebenarnya tidak hanya menjual produk ke sebuah negara saja tetapi kami juga ingin membawa teknologi dari Cina ke Indonesia. Teknologi ini juga termasuk transfer
skill ke Indonesia. Kami mengira ini adalah tanggung jawab sosial. Tentu saja TKDN bukan masalah untuk kami. Regulasi itu positif," Shi menjabarkan.