Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah China meminta operator untuk mengeblok akses individual atas
virtual private networks (VPN). Regulasi ini rencananya akan diberlakukan pada 1 Februari 2018.
Tiga operator
mobile yang akan disasar dengan regulasi baru ini adalah China Mobile, China Unicom, dan China Telecom. Ketiganya adalah perusahaan milik pemerintah, masing-masing dengan 860 juta, 268 juta, dan 227 juta pelanggan.
VPN sendiri adalah layanan yang bisa digunakan pengguna untuk mengakses layanan yang diblokir oleh pemerintah China. Dengan menginstal aplikasi VPN pada ponsel, pengguna tiga operator telekomunikasi
mobile ini bisa mengakses berbagai layanan internet seperti biasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ini adalah satu-satunya cara bagi orang yang bermukim di China untuk tetap bisa menggunakan layanan internet global tanpa sensor.
Kebijakan baru pemerintah China ini tentu akan kian mengisolasi informasi dan layanan internet di negara Tirai Bambu itu. VPN adalah satu-satunya lubang yang belum ditambal dari Tembok Besar Firewall di negara itu. Hal ini sejalan dengan kebijakan "kedaulatan dunia maya" Xin Ji Ping, seperti ditulis
Bloomberg.
Layanan internet yang diblokir pemerintah China diantaranya Google, Facebook, Twitter, Instagram, dan beberapa situs berita, termasuk The New York Times dan Wall Street Journal.
Tindakan kerasBeijing telah bermain kucing-kucingan dengan penyedia VPN dalam beberapa tahun terakhir. Pada Januari, operator telekomunikasi telah membuat persetujuan wajib untuk perusahaan berbasis di China yang menawarkan VPN. Pada intinya, hal ini membuat banyak layanan lokal menjadi ilegal.
Pemerintah juga memaksa dua layanan populer di Cina tutup. Tapi, perusahaan VPN yang berbasis diluar China terus melebarkan jangkauannya. Bisa jadi hal inilah yang membuat pemerintah China akhirnya mengambil langkah ekstrem yang melarang penggunaan VPN sama sekali.
DampakDi samping pelarangan akses informasi, larangan VPN universal diperkirakan juga akan menyulitkan beberapa perusahaan dan pekerja yang berbasis di China. Hal ini juga diperkirakan akan berdampak kepada para akademisi, pengembang perangkat lunak, dan pelaku bisnis asing, seperti dilansir
The Guardian.
SCMP menyoroti bagaimana kebijakan ini akan berdampak pada kerja seseorang peneliti peneliti lingkungan. Sebab, ia mengandalkan Google Docs untuk kolaborasi. Begitupula dengan kurator yang berbasis di Shanghai yang mesti berkolaborasi dengan seniman di luar negeri.
Masih belum jelas bagaimana kebijakan akan berpengaruh pada perusahaan multinasional yang beroperasi di negara tersebut. Sebab, China baru membuat serangkaian aturan cybersecurity. Salah satu aturan itu akan mengharuskan beberapa data disimpan di China, demikian
TechCruch.