Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memutuskan untuk memblokir situs Telegram karena pertimbangan kemampuan pengiriman informasi lebih banyak dibandingkan dengan aplikasi pesan singkat lain.
“Transfer 1,5GB itu hanya bisa melalui web. Di situlah mereka bertransfer informasi dan kebanyakan pengakuan dari pelaku (terorisme), mereka memang menggunakan web ini karena keunggulannya lebih bisa dirasakan,” kata Dirjan APTIKA Semuel Abrijani Pangerapan menjawab pertanyaan CNNIndonesia.com, Senin (17/7).
Pada Jumat (14/7), Kominfo meminta penyedia ISP untuk memblokir 11 DNS Telegram meskipun pengguna aplikasi program pesan singkat ini lebih banyak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Soal aplikasi itu sendiri Kominfo berharap tak perlu sampai memblokir aplikasi sebab kini sudah ada komunikasi dengan pihak Telegram.
Terkait normalisasi situs yang kini diblokir, Semuel mengatakan hal itu tergantung pada kecepatan aplikasi warna biru itu untuk mematuhi peraturan Indonesia.
Saat ditanya apakah pemblokiran aplikasi ini “teguran” agar Telegram berkantor di Indonesia, Semuel menjawab bahwa pemerintah memang ingin Over The Top (OTT) apapun yang beroperasi di Indonesia memiliki perwakilan di Indonesia.
“Ya masih baru, baru balas email. Kan kita tidak tahu apakah dia mau atau tidak, tapi kita minta perwakilannya supaya koordinasinya jelas dan marketnya Indonesia kan besar. Perwakilan harus ada, siapa yang menangani ini biar jelas… Kalau Google, YouTube, Facebook, Twitter apa segala macam kan sudah ada kontaknya, sudah ada PIC-nya. Kalau Telegram baru ini,” kata dia.
Dalam jumpa pers yang diadakan di Jakarta ini, Semuel mengatakan bahwa pemerintah Indonesia telah mengajukan sejumlah usulah kepada Telegram antara lain pembentukan Government Channel agar komunikasi dengan kementrian kominfo bisa lebih cepat dan efisien.
Selain itu, Kemkoninfo akan meminta diberi otoritas sebagai Trusted Flagger terhada akun atau kanal dalam layanan telegram.
Semual juga mengatakan CEO Telegram Pavel Durov telah meminta maaf karena tidak menyadari adanya permintaan Kominfo sejak 2016 untuk melakukan tindakan atas konten-konten radikal.
Sebagai tindak lanjut, Kominfo meminta SOP secara teknis termasuk proses, SDM, organisasi dan sebagainya kepada perusahaan aplikasi chat asal Rusia itu. Ini dilakukan agar mereka siap jika ada aktivitas yang berkaitan dengan tindakan-tindakan yang melanggar peraturan di Indonesia.
Berikut beberapa poin yang diajukan Kominfo kepada Telegram:
1. Kemungkinan dibuatnya Government Channel agar komunikasi dengan Kementerian Kominfo lebih cepat dan efisien.
2. Kemkominfo akan meminta diberikan otoritas sebagai Trusted Flagger terhadap akun atau kanal dalam layanan Telegram.
3. Kemkominfo akan meminta Telegram membuka perwakilan di Indonesia.
4. Untuk proses tata kelola penapisan konten, Kemkominfo terus melakukan perbaikan baik proses, pengorganisasian, teknis, maupun SDM.
(pit)