Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Forum Warga Kota Jakarta Azas Tigor Nainggolan, meminta agar pemerintah lebih tegas kepada penyedia jasa transportasi
online. Pasalnya, lperusahaan yang menaungi layanan ini bukan dikategorikan sebagai perusahaan transportasi.
Sebab, dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sepedamotor juga bukan dikategorikan transportasi umum. Akibatnya, layanan ini berjalan tanpa payung regulasi.
"Pemerintah harus tegas itu aplikasi bukan perusahaan angkutan umum. Jadi harus ditindak dong, kok tidak ditindak?
Kan yang nentuin tarif dia, nentuin ijin, ngeluarin mobil juga dia, sama motor juga," tuntut Tigor dalam diskusi di Jakarta, Rabu (6/9).
"Ijinnya dia kan di Depnaker sebagai konsultan, tapi malah
ngoprasiin ojek
online, taksi juga. Pemerintah kita tidak tegas sih, karena ada orang gede di sana," ujarnya menambahkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para pengemudi ojek online juga mengeluhkan mengenai nasibnya yang tidak dilindungi payung hukum. Sehingga, nasib mereka berada penuh ditangan perusahaan. Padahal dari segi jumlah dan resiko kecelakaan, pengemudi ojek online menanggung resiko lebih besar.Bukan penyelenggara transportasiKepala Subdirektorat Pengawas Lalu Lintas Angkutan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek Kementerian Perhubungan (BPTJ Kemenhub) Syafrin Liputo, membenarkan kalau Go-jek, Grab dan Uber memang bukanlah perusahaan transportasi, seperti organda atau semacamnya.
Surat izin yang dikantongi oleh perusahaan-perusahaan tersebut juga berstatus sebagai 'jasa manajemen konsultan'. Hal ini terdaftar di Kementerian Tenaga Kerja.
"Izinnya saja jasa manajemen konsultan kan mereka," kata Syafrin.
Sehingga, menurutnya terkait nasib ojek
online ini paling tepat ditujukan ke Istana ketimbang ke Kemenhub.
"Tetapi bukan demo loh ya," ujarnya.
Lebih lanjut, Syafrin menuturkan bahwa pada dasarnya pemerintah mendorong adanya teknologi yang bersinergi mendukung pelayanan angkutan umum. Namun, pelaksanaannya harus tetap mengacu kepada perundang-undangan, UU Informasi dan Transaksi Elektronik serta UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Kementerian Perhubungan sendiri mengaku berhati-hati dalam membuat aturan. Khusus ojek online, Kemenhub bahkan terkesan melempar tanggungjawab sebab memberi kuasa kepada pemerintah daerah untuk mengatur.
Tanggungjawab bersamaSementara, Koordinator Bidang Publikasi Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Sujatmo, berujar sebetulnya untuk menghadapi kasus transportasi online tidak bisa hanya mengandalkan satu kementerian. Terlebih, dampak dari kasus ini juga masuk ke ranah sosial.
"Ini bukan hanya Kemenhub, tapi juga Kementerian Sosial dam Kementerian Tenaga Kerja. Masalahnya kami lihat ini jalan sendiri-sendiri, bilang ini tugasnya perhubungan. Padahal dampaknya bagaimana," kata Agus.
Catatan Redaksi: Redaksi mengubah judul artikel dari "Pemerintah Diminta Tegas Sikapi Penyedia Transportasi Daring" pada 14:15 untuk mempertajam maksud berita.
(eks)