Jakarta, CNN Indonesia --
Facebook mengungkap jumlah pengguna yang datanya dimanfaatkan oleh
Cambridge Analytica mencapai 87 juta akun, lebih banyak dari laporan awal sekitar 50 juta akun.
Melalui blog perusahaan, Chief Technology Officer (CTO) Facebook Mark Schoepfer merilis daftar pengguna berdasarkan negara yang paling terdampak dari kebocoran data ini. Mayoritas berasal dari Amerika Serikat sebanyak 70,6 juta akun atau 81,6 persen.
Indonesia berada di peringkat ketiga dalam daftar tersebut dengan 1 juta lebih akun, satu nomor di bawah Filipina dengan 1,1 juta lebih akun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai tanggung jawab mereka, Facebook mengubah sejumlah kebijakan di sana-sini mulai dari penggunaan
application program interface (API), kolom pencarian, hingga halaman login.
"Secara keseluruhan kami percaya perubahan ini akan melindungi informasi seseorang lebih baik sembari membantu para pengembang menciptakan pengalaman yang berguna," tulis Schoepfer, Rabu (4/4).
Ini pertama kalinya Facebook mengonfirmasi secara resmi bahwa ada kebocoran data yang tejadi.
Namun laporan
Bloomberg menyatakan dua miliar pengguna Facebook berada dalam posisi rentan diakses sembarang orang. Contoh kerentanan itu terjadi pada kotak pencarian yang bisa dipakai untuk mencari suatu akun lewat nomor telepon atau alamat surel.
"Melihat skala dan canggihnya aktivitas yang terlihat, kami yakin profil publik orang-orang di Facebook diambil dengan cara itu. Sehingga kini kami menonaktifkan fitur tersebut," tulis Facebook.
Mark Zuckerberg sendiri mengakui pihaknya bersalah dalam kasus ini dan ia menerima kemarahan sejumlah pengguna, pengiklan, dan parlemen di sejumlah negara.
"Ketika kau membangun sesuatu seperti Facebook yang belum pernah ada sebelumnya di dunia, akan ada sesuatu berantakan," ujar Zuckerberg dikutip dari Reuters.
"Ini salah saya."
Ketika Facebook sudah mengakui ada kebocoran data dengan jumlah pengguna yang lebih banyak dari diperkirakan sebelumnya, Cambridge Analytica justru berkata sebaliknya.
Melansir dari laporan TechCrunch, Cambridge Analytica mengklaim hanya memakai data dari 30 juta pengguna yang diperoleh dari Global Science Research, perusahaan yang mendapat izin resmi dari Facebook. Mereka juga berdalih data tersebut tidak mereka manfaatkan untuk membantu Donald Trump menang di pemilu presiden AS pada 2016 lalu.
(age)