Jakarta, CNN Indonesia -- Skandal
kebocoran data 87 juta pengguna Facebook mendorong pemerintah AS untuk turun tangan melakukan investigasi.
Departemen Kehakiman AS dan FBI memulai penyelidikan terhadap
Cambridge Analytica.
Penyelidikan ini lebih berfokus pada transaksi keuangan perusahaan dan bagaimana mereka memanen serta menggunakan data pengguna Facebook.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengutip
Reuters seperti diberitakan
New York Times, jaksa diketahui mulai mengajukan sejumlah pertanyaan kepada mantan karyawan Cambridge Analytica dan bank yang terlibat menangani bisnis mereka.
Pihak Facebook, Cambridge Analytica, Departemen Kehakiman, dan FBI menolak untuk berkomentar soal penyelidikan ini. Di sisi lain, Cambridge Analytica pada awal Mei lalu mengumumkan bahwa perusahaan bangkrut lantaran kehilangan kepercayaan pelanggan dan para pemasoknya.
"Karyawan kami yang berdedikasi telah belajar bahwa mereka kehilangan pekerjaan akibat dari peliputan negatif media yang tidak adil."
"Kepungan berita media telah mengusir hampir semua pelanggan dan pemasok perusahaan. Hasilnya jelas kami tidak bisa lagi melanjutkan operasi bisnis perusahaan ini lagi," tulis perusahaan seperti dikutip
The Wall Street Journal, Mei lalu.
Dalam pernyataan resminya, Cambridge Analytica menyebutkan bahwa mereka tengah mengajukan pernyataan pailit lantaran ketidakmampuan membayar utang ke pemerintah Inggris. CA juga akan mengurus hal serupa dengan usahanya yang terdaftar di Amerika Serikat.
Cambdrige Analytica diketahui menyalahgunakan 87 juta data pengguna Facebook untuk mendukung kampanye pemilu AS yang memenangkan Donald Trump sebagai presiden pada 2016 lalu.
Akibat skandal tersebut, CA harus menghadapi tuntutan dan investigasi mendalam oleh pemerintah di berbagai negara seperti Inggris, AS, termasuk Indonesia. CEO Mark Zuckerberg sempat memberikan kesaksian di hadapan kongres AS terkait skandal kebocoran data penggunanya.
(evn)