Jakarta, CNN Indonesia -- Peredaran hoaks di Indonesia lekat dengan perayaan politik. Hal ini diungkap oleh sejumlah pengamat digital di Indonesia dan didukung oleh data aduan dari Kominfo.
Hanya saja, hingga saat ini masih belum ada penelitian dan data publik alternatif yang bisa digunakan sebagai rujukan atas pernyataan tersebut.
Menurut Direktur Politica Wave Jose Rizal, fenomena peredaran hoaks di Indonesia menurutnya marak terjadi saat Pilpres 2014.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Salah satu yang ramai saat itu
kan yang bilang Jokowi keturunan Cina," tuturnya saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Senin (14/5).
Sementara itu pada Pilkada DKI Jakarta 2012, yang terjadi adalah maraknya penggunaan
bot untuk menyebarkan berita negatif atau berita dukungan terhadap salah satu kandidat. Jose menyebut bahwa penggunaan
bot untuk menyebar berita negatif, sebelumnya jarang menggunakan
bot.
"Sebelum 2012, jarang yang pakai
bot.
Brand juga ngga pakai
bot (untuk memengaruhi pasar)," tuturnya lagi.
Meski demikian, ketika ditanya data mendetail dalam jangka waktu tertentu mengenai peredaran hoaks di Indonesia, Jose menyebut bahwa pihaknya tidak memiliki data tersebut.
"Jumlah hoaks di Indonesia terlalu banyak, kami tidak merekam semuanya," tambahnya lagi.
Hal senada sempat dilontarkan oleh Direktur Operasional Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (Pandi) Sigit Widodo. Menurutnya, juga sempat mengungkap pada akhir 2016 lalu bahwa berita hoaks kuat merebak pada pilkada serentak saat itu.
Berita hoaks itu bahkan disebutkannya jauh lebih kuat dari Pemilu yang digelar sebelumnya. Namun, lagi-lagi ia mengungkap tak memegang data pasti.
Hoaks merebak saat peristiwa politikMeski demikian, hal senada juga diutarakan oleh Dedy Permadi, Ketua Umum Gerakan #Siberkreasi sekaligus Managing Director Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM. Menurutnya, ada kaitan antara peningkatan hoaks dengan peristiwa politik di Indonesia.
"Terkait Pemilu dari analisis media sosial ada tren penyebaran hoaks cenderung meningkat jika masuk masa Pemilu, terbukti di Pilgub dan Pilpres," tuturnya saat dihubungi
CNNIndonesia.com via telepon beberapa waktu lalu.
Menurut Dedy, hal ini telah dibuktikan tahun lalu lewat penelitian yang dilakukan oleh CfDS UGM. Lembaga itu menganalisa percakapan di media sosial.
Dalam penelitian tersebut mereka membagi percakapan menjadi dua,
tone dan
noise. Tone ditujukan untuk pembicaraan bermakna, sementara noise untuk pembicaraan tak bermakna.
"Keitka masuk masa political
event,
noise akan naik," lanjutnya lagi.
Namun, ketika dikonfirmasi lebih jauh terkait penelitian tersebut, Dedi menolak. Alasannya penelitian tersebut tidak untuk dipublikasikan.
"Tidak dipublish karena dulu [digunakan] untuk tujuan
policy recomendation yang tertutup," tandasnya.
Data aduan KominfoSementara data aduan Kominfo menunjukkan adanya lonjakan aduan yang dikategorikan fitnah dan SARA pada Januari 2017 dan Septembar 2017.
Di Indonesia sendiri, pertengahan Oktober 2016 hingga pertengahan Februari 2017 diagendakan sebagai masa kampanye dan debat publik Pilkada serentak. Sayangnya, data aduan yang dikumpulkan Kominfo baru terhitung sejak 2017 hingga saat ini saja.
Dari seluruh kategori aduan konten negatif yang dikumpulkn Kominfo,
CNNIndonesia.com mengambil aduan terkait fitnah dan SARA sebagai indikasi besarnya aduan terkait hoaks.
Pasalnya, kedua hal ini yang paling mungkin berkaitan dengan hoaks yang notabene adalah berita tidak benar. Sementara data aduan konten negatif lain yang tercatat di Kominfo berkaitan dengan pornografi, perjudian, dan konten negatif lainnya.
Hasilnya, tampak adanya lonjakan aduan terkait fitnah dan SARA di masa kampanye pada Januari 2017. Aduan ini mereda pada Februari dimana kalender politik Indonesia sudah memasuki masa tenang dan pemilihan dilakukan.
Laporan SARA sedikit naik di bulan Mei 2017 dimana saat itu terjadi Pilkada DKI putaran kedua. Pada bulan Mei, juga menjadi masa dimana Basuki Tjahja Purnama diseret ke pengadilan atas tuduhan pelecehan agama.
Laporan SARA pada Mei 2017 naik nyaris dua kali lipat dari bulan April 2017. Sementara laporan fitnah juga naik lebih dari dua kali lipat dari April ke Mei 2017.
 Data laporan yang dikumpulkan Kementerian Kominfo periode 2017 lewat aduan konten negatif. Berdasarkan kategorisasi Kominfo, CNNIndonesia membatasi laporan hoaks pada aduan terkait SARA dan fitnah. (CNN Indonesia/Timothy Loen) |
Sementara itu, pada bulan September 2017 kembali terjadi lonjakan pelaporan SARA dan fitnah. Kali ini lonjakan pelaporan ini tidak terkait dengan peristiwa politik. Tapi lebih karena didorong isu ideologis. Saat itu, tengah ramai isu mengenai bangkit kembalinya PKI.
Akhir September memang dikenal dengan peringatan G30SPKI. Bulan itu tengah ramai soal pembubaran diskusi sejarah 1965 di LBH, Jakarta. Pada pekan berikutnya kembali santer soal demonstrasi oleh massa yang menggugat diskusi di YLBHI dan berujung kericuhan.
Menurut pengamatan Jose, jenis berita palsu yang paling banyak beredar di media sosial pada Agustus-Desember 2017 memang terkait isu kebangkitan PKI.
Merujuk dari data PoliticaWave, jumlah hoaks yang beredar di media sosial terkait isu kebangkitan PKI saat itu mencapai lebih dari 200 ribu atau 95,3 persen.
Dari hasil survei, selain isu kebangkitan PKI, kabar bohong lain yang beredar di medsos adalah isu pemerintah anti-Islam (2,3 persen), isu CEO Traveloka walkout (1,1 persen), isu tenaga kerja Cina (0,7 persen), dan isu Sandiaga Uno terobos jalur busway (0,5 persen).
Sementara itu, laporan di 2018 juga menunjukkan mulai adanya peningkatan laporan terkait SARA dan fitnah sejak Maret, seperti ditunjukkan grafik di bawah. KPU sendiri telah menetapkan masa kampanye dimulai sejak pertengahan Januari 2018 hingga Juni mendatang.
 Laporan aduan konten Kominfo 2018 menunjukkan peningkatan laporan fitnah dan SARA pada Maret 2018. (CNN Indonesia/Timothy Loen) |
Dengan demikian, besar kemungkinan peristiwa politik memang berpengaruh pada merebaknya hoaks di Indonesia. Sayangnya, hingga saat ini masih belum ada data riil mengenai persebaran hoaks ini di Indonesia. Data yang didapat baru sebatas data aduan, bukan berdasarkan kondisi riil di lapangan.
Selain Kominfo, aduan terkait hoaks juga bisa dilayangkan ke pihak kepolisian. Terutama jika laporan hoaks tersebut akan masuk ke ranah pidana. Namun, hingga berita ini diturunkan, pihak kepolisian masih belum merespons terkait jumlah aduan tersebut.
(eks)