Oleh: Dewi Safitri
Ia menuliskan hasil liputannya dari Belgia hasil partisipasi dalam Program Journalist-in-Residence yang diselenggarakan oleh Institute of Tropical Medicine di Antwerp.
Lebih dari 50 orang tiba-tiba jatuh sakit yang tak diketahui sebabnya di Surabaya, Jawa Timur pada 1968. Gejalanya tidak dikenali oleh warga setempat saat itu: demam tinggi, ngilu di tulang dan sendi dan kemudian shock akibat pendarahan. Demam itu menewaskan hampir separuh pasien.
Sepuluh tahun kemudian, masyarakat baru mengetahui bahwa penyakit itu adalah demam berdarah (dengue/DB), jenis infeksi yang disebabkan gigitan nyamuk aedes di siang hari. Dari sebuah kampung kumuh di Surabaya, demam berdarah saat itu segera menyebar ke seluruh penjuru Indonesia.
Penyakit ini menyukai kantong penduduk yang padat, kotor dan miskin. Setelah menyerang warga Surabaya --kota terbesar kedua Indonesia-- demam berdarah selanjutnya menyerbu Jakarta, dan sejumlah kota besar lain di Jawa, Sumatra, dan Bali.
Tahun 2015 tercatat sebagai tahun paling mematikan akibat demam berdarah dengan korban tewas mencapai 1229 jiwa di seluruh Indonesia.
Beruntung sains terus mencatatkan kemajuan. Salah satu inovasi paling penting adalah penemuan Dengvaxia, vaksin demam berdarah yang diproduksi oleh Sanofi Pasteur, perusahaan-obat raksasa. Dengvaxia kemudian mendapat lisensi sebagai vaksin anti-DB pertama di Asia.
“Mungkin terobosan paling signifikan ya … Meski belum dipakai luas karena keampuhannya rendah sampai sedang saja. Tapi vaksin ini tetap menawarkan perlindungan pada warga yang hidup di wilayah endemik demam berdarah,” kata Tedjo Sasmono, kepala Riset Demam Berdarah pada Institut Eijkman di Jakarta. Tedjo juga sudah bertahun-tahun meneliti demam berdarah dan kini memimpin sebuah tim untuk mencari tahu cara mengatasi penyakit ini.
Namun Dengvaxia sesungguhnya bukan benar-benar mujarab. Suatu peristiwa di Filipina menjadi indikasi bahwa pencarian cara ampuh mengatasi demam berdarah mungkin akan berlanjut hingga bertahun-tahun ke depan.
Tiga tahun setelah resmi diluncurkan di Filipina pertama kali pada 2015, Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa Dengvaxia dapat memicu terjadinya infeksi demam berdarah lebih parah pada pasien dengan seronegatif – yaitu mereka yang sebelumnya belum pernah terinfeksi demam berdarah secara alami.
Artinya, mereka yang belum pernah kena demam berdarah tapi kemudian disuntik Dengvaxia, bisa mendapat serangan infeksi lebih parah karena penyakit ini.
Laporan Sanofi Pasteur juga membenarkan hal ini.
Warga di Filipina dan Brazil –dua negara endemik DB yang juga melakukan program imunisasi massal Dengvaxia—sangat marah: kenapa risiko pemakaian vaksin Dengvaxia tidak diberitahukan sebelumnya? Harapan menghentikan penyebaran infeksi DB dengan vaksinasi jutaan murid sekolah setempat kandas berganti kegeraman.
Pada Desember 2017, Menteri Kesehatan Filipina Rolando Enrique Domingo mengatakan keputusan menghentikan vaksin massal Dengvaxia tidak akan “berubah dalam setahun-dua tahun”. Negara lain di Asia nampaknya mengikuti kebijakan ini.
“Ya memang, mengecewakan,” kata Veerle Vanlerberghe, seorang epidemiologis dan spesialis kendali penyakit pada Institute of Tropical Medicine (ITM) di Antwerp, Belgia.
“Saintis cukup berharap, tentu, tapi banyak ahli yang sebenarnya cukup skeptis juga (tentang Dengvaxia). Vaksin bukan satu-satunya jawaban, tidak bisa jadi senjata tunggal untuk memusnahkan demam berdarah.”
Maka Vanlerberghe dan ilmuwan di seluruh dunia meneruskan berbagai studi mencari cara yang lebih efisien guna memerangi DB.
Data WHO memperlihatkan demam berdarah kini menjadi penyakit endemik di lebih dari 100 negara tropis dan sub-tropis. Kasus demam berdarah juga dilaporkan muncul di Kroasia dan Perancis (2010) serta Portugal (2012) meski sebelumnya disebut mustahil merambah ke Eropa. Bahkan negara super bersih seperti Jepang –setelah menjalani periode absen DB lebih dari 70 tahun— pada 2014 melaporkan infeksi pada 18 pasien dari kasus demam berdarah lokal (autochthonous).
Dalam kamus kesehatan global, demam berdarah dikelompokkan sebagai satu dari “penyakit tropis terabaikan” – berbagai jenis penyakit menular bandel yang terus-menerus kembali menyerang dan makan korban di negara tropis dan subtropis.
WHO mengistilahkan DB “mengagetkan dunia” setelah jumlah korban naik 30 kali lipat dalam waktu 50 tahun terakhir. Karena itu dibutuhkan upaya yang kompak dan terkoordinasi untuk mengatasi penyebaran demam berdarah. Riset-riset terkini fokus pada pendekatan-pendekatan paling memungkinkan untuk mendapatkan hasil itu.
Veerle Vanlerberghe dari ITM di Antwerp, memimpin tim yang menguji pertanyaan sangat mendasar tentang penyebaran DB: kalau nyamuk aedes menghisap darah mangsa pada siang hari saat orang kebanyakan sedang sibuk di tempat kerja, apa kira-kira model intervensi yang paling efisien melindungi calon korban?
“Targetnya adalah meningkatkan upaya kontrol penyebaran demam berdarah. Sebagian besar negara endemik DB memusatkan upaya intervensi pada rumah-rumah, karena ya, memang umumnya di situlah lokasi berbiak nyamuk. Tapi kalau kita pahami bahwa pada siang hari anak pergi sekolah, orang bekerja di kantor, pasar, jalanan, gedung-gedung – apa baiknya kita pertimbangkan juga jenis intervensi yang berbeda?” ia bertanya.
Model kontrol konvensional seperti ini umum ditemukan di Indonesia. Respon standar setelah warga suatu komunitas terinfeksi DB adalah dengan melakukan pengasapan (fogging) terhadap bibit nyamuk di kawasan sekitar rumah tinggalnya. Pencegahan penyebaran ini belum tentu berhasil karena sering tak diimbangi dengan bukti: apakah benar infeksi terjadi di sekitar rumah tinggal. Strategi yang juga lemah mengingat tindakan baru diambil setelah korban terinfeksi.

Kalau nyamuk aedes menghisap darah mangsa pada siang hari saat orang kebanyakan sedang sibuk di tempat kerja, apa kira-kira model intervensi yang paling efisien melindungi calon korban?

Keberhasilan upaya pencegahan dengan menyasar wilayah target akan mengubah pola memerangi Demam Berdarah secara mendasar, dari semula reaktif menjadi asertif. Umpamanya tidak dilakukan di sekitar rumah tinggal – apakah akan lebih baik kalau fogging dilakukan di sekolah, kantor, atau pasar?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pada 2019 ini Vanlerberghe berharap ada data yang lebih rinci dari studi yang lebih luas terkait pergerakan manusia dan lokasi tujuannya.
Charlotte Gryseels, peneliti ITM dari Departemen Public Health yang sejumlah risetnya terkait hal ini, pun menyatakan tak ada satu bentuk intervensi yang cocok diterapkan pada semua jenis populasi.
“Beda mobilitas akan berakibat pada perbedaan model intervensi. Menciptakan model intervensi yang tepat akan menyelamatkan nyawa, menghemat anggaran dan sumberdaya,” kata Gryseels.
Betapa krusialnya memahami pergerakan manusia dan populasi juga tercermin dari studi tentang pemberantasan malaria.
Infeksi malaria menurun drastis sepanjang satu dekade terakhir di Asia, tapi gagal diberantas habis sama sekali terutama di kantong-kantong terpencil termasuk di perbatasan antara Thailand dan Myanmar. Populasi suku Hmong hidup di antara perbatasan ini.
Meskipun pemakaian kelambu anti-nyamuk berpestisida sebagai bentuk penanganan malaria diklaim sukses, terutama di sisi perbatasan bagian Thailand, malaria terus jadi penyakit endemik di situ.
Studi Gryseels menemukan bahwa program intervensi dengan kelambu berpestisida mengabaikan beberapa fakta penting.
“Ada perbedaan jenis mobilitas yang mempengaruhi bagaimana malaria menyebar. Juga bagaimana populasi berbeda akan berperilaku dengan cara berbeda pula terhadap penyebaran malaria.”
“Misalnya ada kelompok petani pembakar lahan. Mereka hidup di ladang dalam semusim dan punya rumah di situ. Tapi tempat ini jauh sekali dan repot sekali membawa-bawa kelambu anti-nyamuk ke situ. Akibatnya muncul lagi risiko penyebaran malaria.”
Populasi lain yang tak terpantau adalah buruh kebun, yang secara sosial maupun ekonomi bahkan lebih miskin dari para petani pembakar lahan, sehingga jarang terdaftar sebagai penerima jatah kelambu anti-malaria. Akibatnya intervensi model kelambu ini mungkin bukan pilihan paling efisien.
Jadi kalau begitu: kira-kira apakah ada pilihan lain?
“Pada akhirnya substansinya ada pada cara memetakan model pergerakan warga setempat dan meyakinkan pemerintah berwenang untuk mengambil model penanganan yang tepat,” simpul Gryseels.
Beberapa ribu mil dari suatu titik di Aruba, sebuah pulau mungil lepas pantai dekat wilayah Venezuela, Ralph Huits menghadapi persoalan berbeda.
Huits bekerja sebagai dokter di sana pada 2010-2012, saat terjadi wabah demam berdarah. Tidak seperti malaria yang infeksinya bisa cepat dideteksi dengan alat Rapid Diagnostic Test (RDT), DB baru menunjukkan gejala setelah tiga sampai tujuh hari setelah tergigit nyamuk aedes.
Ini persoalan besar.
“Dokter kesulitan memprediksi demam berdarah. Susah mengatakan apakah pasiennya akan pulih atau butuh perawatan lanjut,” kata Huits yang kini memimpin tim untuk riset tentang Studi Demam di ITM.
Artinya, bila pasien sudah lebih awal memeriksakan diri akibat keluhan demam, linu sendi dan gejala demam berdarah umum lainnya sekali pun, petugas kesehatan tidak bisa seratus persen memastikan ia terkena demam berdarah dan memberikan pengobatan sesuai.
Akibatnya, saat demam berdarah terdiagnosis, infeksinya bisa jadi sudah berlanjut dan bahkan bertambah parah.
Berdasar pengalamannya sendiri yang kemudian dipublikasi dalam jurnal ilmiah dan didukung berbagai studi lain di Brazil, Huits menyarankan agar dokter menggunakan tes darah untuk mengetahui level protein dalam darah sebagai sarana prediksi lebih cepat.
“Ferritin – itu nama protein yang mengangkut zat besi dalam darah, biasanya level normalnya antara 50-200 mikrograms per litre (darah). Dalam kasus infeksi apapun, level Ferritin naik sedikit...”
“Tapi yang saya temukan pada pasien demam berdarah yang masuk ke ICU, levelnya bukan ratusan atau ribuan tapi sampai 70.000 atau 80.000 mikrogram per liter. Jadi sangat, sangat, amat tinggi. Dan dalam ilmu pengobatan, jarang sekali ada infeksi dengan gejala begini,” kata peneliti berkebangsaan Belanda ini.
Dalam beberapa hasil penelitian yang telah dipublikasikan oleh Jurnal Penyakit Terabaikan (Neglected Diseases Journal), termasuk milik Huit sendiri, tes penentuan level Ferritin disebut bisa menjadi indikasi kuat infeksi demam berdarah, sehingga mempercepat pengobatan dan menyelamatkan nyawa penderita.
WHO mencatat perawatan kesehatan pasien DB dari dokter dan perawat terlatih dapat mengurangi tingkat kematian dari semula 20% menjadi kurang dari 1%. Karena itu, diagnosis yang terlalu lama akan merugikan kesempatan penyembuhan pasien. WHO menganjurkan agar pusat kesehatan langsung merawat pasien jika memang menunjukkan gejala-gejala umum, meski diagnosisnya belum pasti demam berdarah.
Dewasa ini sains mempercayai setidaknya ada empat tipe infeksi DB: dikenal sebagai DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4.
Pulih dari satu tipe infeksi memberikan kekebalan terhadap infeksi serotipe tersebut, tetapi tetap tak sepenuhnya terlindung dari tipe lain. Dalam kasus Dengvaxia, muncul risiko serangan lebih parah bila seseorang diimunisasi dengan vaksin tersebut padahal sebelumnya belum pernah terinfeksi DB tipe apapun.
Setelah kehebohan imunisasi Dengvaxia massal di Filipina dan Brazil, ahli virus di ITM, Kevin Arien mencoba memusatkan penelitian pada faktor kunci dalam pemberian Dengvaxia: menciptakan alat diagnostik untuk mengetahui sejarah serotipe seseorang.
Alat ini berguna untuk mengetahui apakah seseorang pernah terinfeksi DB, termasuk serotipe yang pernah dideritanya. Dengan mengetahui sejarah serotipe ini, problem vaksinasi sebagaimana yang muncul pasca-rilis Dengvaxia dapat dihindari.
Alat diagnostik yang sekarang tersedia di pasaran menurut Arien tak memadai. Tantangan dalam proyek ini terdapat pada kesulitan mengidentifikasi jejak infeksi yang sudah lama berlalu.
“Kita melihat antibodi yang terjadi akibat infeksi beberapa tahun sebelumnya – mungkin 5-10 tahun. Inilah kenapa alat yang ada sekarang tidak memadai… Diagnostik yang ada tidak bisa memprediksi serostatus seseorang. Sekarang ini setelah kejadian Dengvaxia, pabrikan diagnostik dan bahkan pabrikan farmasi seperti Sanofi dipaksa berpikir ulang tentang alat tes diagnostik,” kata Arien.
Pendeteksian wabah dan pembatasan penyebaran untuk penyakit akibat infeksi sangat bergantung pada tes semacam ini.
“Jadi sudah betul belum tesnya untuk menandai virus atau respon yang diarahkan pada si virus? Pada dasarnya semuanya diawali dengan diagnostik yang layak. Yang terjadi, sayangnya, hal ini sering diabaikan. Pabrikan-pabrikan ini maunya buru-buru mengumumkan vaksin, mengumumkan obat, dan lupa bahwa mereka perlu alat diagnostik untuk menentukan apakan vaksinnya atau obatnya bisa bekerja,” Arien mengkritik.
Untuk proyek risetnya saat ini, Arien menggunakan basis yang serupa dengan yang dipakai pada proyek pembuatan alat diagnostik sebelumnya untuk mendeteksi infeksi ebola. Alatnya berukuran sedikit lebih besar dari kotak cangkir kopi standar, dirancang agar mudah dipakai oleh pekerja kesehatan dengan hanya membutuhkan sedikit bantuan alat laboratorium untuk mendekati gambaran kondisi lapangan Afrika sesungguhnya. Namun bahkan dengan model yang sebelumnya sudah ada, Arien memperkirakan alat deteksi serotipe untuk demam berdarah baru akan bisa diproduksi 3-4 lagi.
Sejarah Dengvaxia menunjukkan sekali lagi betapa demam berdarah sukar dikalahkan. Dana penelitian besar dan tiga dekade riset belum memberi hasil yang diharapkan.
Tapi pertarungan belum usai. Menurut penelitian seorang mahasiswa kedokteran, Aran Sandrasegaran, hingga 2016 ada setidaknya tujuh riset global global dilakukan untuk mencari vaksin baru anti-demam berdarah.
Pihak yang termasuk memimpin upaya ini adalah pabrikan obat raksasa Glaxo-Smith-Kline yang bermitra dengan Walter Reid Army Institute of Research di AS, serta Mahidol Institute di Thailand yang bekerja sama dengan, sekali lagi, Sanofi Pasteur.
Problem yang mereka hadapi rata-rata mirip. Membedakan DB dari berbagai jenis penyakit demam lain yang juga disebabkan oleh gigitan nyamuk dengan gejala sangat identik seperti zika, demam kuning, kaki gajah atau chikungunya, dan kemudian menciptakan vaksin yang cespleng adalah salah satu misteri sains terbesar saat ini.
“Dari sisi patogen, empat serotipe virus DB yang berbeda ini adalah faktor yang membuat risetnya jadi rumit,” kata Tedjo Susmono dari Institut Eijkman. Sasmono sendiri sudah meneliti demam berdarah selama 20 tahun.
“Keragaman virus ini juga berakibat pada kemampuannya menyebar lebih luas dan membawa potensi terjadinya wabah, dan pada saat yang sama akan mempengaruhi tingkat keparahan penyakit.”
Menurut riset Sasmono, empat serotipe demam berdarah yang dikenal dunia telah menyebar luas di sebagian besar kota besar di Indonesia dengan lebih dari separuh pasien anak yang terinfeksi DB sudah mengalami lebih dari satu kali infeksi dengan serotipe berbeda. Hal ini menunjukkan betapa luasnya penyebaran infeksi tersebut yang seringkali dikaitkan dengan kasus-kasus infeksi DB yang gawat.
Dengan pengetahuan mendalam tentang hal ini, Sasmono berharap Indonesia dapat berkontribusi pada pengembangan sarana diagnostik demam berdarah, obat-obatan dan vaksin yang lebih sensitif dan spesifik untuk pemakaian warga Indonesia.

Share

  • Naskah: Dewi Safitri

  • Editor: Vetriciawizach Simbolon

  • Infografis: Fajrian, Asfahan Yahsyi

  • Aset grafis: iStock

  • Tata Letak: Fajrian, Muhammad Ali

Artikel Sebelumnya

Pijar | Teropong Kendaraan Listrik di Indonesia
Pijar | Teropong Kendaraan Listrik di Indonesia
Pijar | Dunia Dalam Berita Palsu
Pijar | Dunia Dalam Berita Palsu
Kembali ke CNNIndonesia.com
Back to top