Jakarta, CNN Indonesia -- Siapa sangka, keberhasilan Grab merebut status Decacorn pada 2019 berawal dari satu pertanyaan sederhana yang diajukan seorang kawan pada Anthony Tan, pendiri perusahaan rintisan itu.
"Apa yang salah dengan sistem taksi di negerimu?" tanya temannya itu ketika berkunjung ke Malaysia.
Saat itu Anthony masih duduk di bangku kuliah di Harvard Business School Amerika Serikat. Sang kawan mengeluhkan betapa perempuan sangat sukar mendapatkan taksi di Malaysia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kakek buyutmu kan sopir taksi dan kakekmu memulai industri mobil Jepang di Malaysia, jadi kamu harusnya berbuat sesuatu untuk mengatasi masalah itu," kata temannya lagi, merujuk pada kesuksesan kakek Anthony sebagai pengusaha sukses di bidang distribusi mobil.
Pertanyaan itu kemudian memicu ide-ide di kepala Anthony. Sampai akhirnya pada 2012 ia bersama temannya di Harvard Business School, Tan Hooi Ling, membuat suatu aplikasi layanan pemesanan taksi yang diberi nama MyTeksi, yang tak lama kemudian ia ubah menjadi GrabTaxi.
Anthony yang merasa optimistis dengan aplikasi buatannya itu kemudian meninggalkan bisnis keluarganya, Chong Motor Holdings, distributor mobil Nissan di Malaysia. Padahal, saat itu Anthony sudah berposisi sebagai kepala marketing.
Salah satu motivasi Anthony untuk meninggalkan perusahaan itu adalah ingin mandiri dan keluar dari bayang-bayang keluarga yang memang cukup tenar di Malaysia. Nama kakeknya, Tan Yuet Foh, sebagai perintis perusahaan Chong Motor Holdings memang kadung tenar di negeri Jiran dan hingga batas tertentu hal itu membuat Anthony jengah. Ayah Anthony, Tan Heng Chew, pada 2015 lalu juga didapuk sebagai orang terkaya di Malaysia, sementara ibunya juga menjadi pialang saham yang andal.
"Aku hidup di bawah bayang-bayang kakekku. Namanya cukup terkenal di sini dan itu cukup melelahkan," ujar anak bungsu dari tiga bersaudara itu.
Namun keputusan Tan terbukti benar. Pada April 2014, GrabTaxi sudah mendapatkan pendanaan sekitar US$10 juta yang dari Vertex Venture Holdings, anak usaha Temasek Holdings.
Kucuran dana ini tak berhenti di sana. Bahkan, hingga akhir tahun Grab berturut-turut mendapatkan suntikan investasi dari GGV Capital asal China, Qunar dan Vertex Venture pada Mei senilai US$15 juta, kemudian Seri C dari Tigel Global (AS), Vertex Venture, dan GGV Capital, senilai US$65 juta pada Oktober. Kemudian Grab menutup tahun dengan sokongan dana Seri D senilai US$250 juta dari Softbank.
Tahun 2014 juga menandai pertama kalinya Grab menjejakkan kaki di tanah Indonesia, tepatnya pada bulan Juni. Grab memulainya dengan GrabTaxi atau layanan aplikasi pemesanan taksi biasa. Pada mulanya, Grab baru menghubungkan konsumen dengan taksi konvensional yang telah ada di Indonesia, dan belum memiliki armada sendiri.
Seiring dengan kepopuleran yang makin meningkat, Grab kemudian berekspansi dengan merilis GrabBike pada 2015. Di tahun yang sama, tepatnya pada bulan Juni, Grab kemudian meluncurkan GrabCar di Bali dan dua bulan kemudian di Jakarta.
Namun bukan hanya Indonesia saja yang secara perlahan menjadi pasar Grab. Jika kakek Anthony menjadi raja distribusi mobil di Malaysia, Anthony justru bisa menguasai Asia Tenggara. Pada 2015, Grab tercatat telah bekerja sama dengan lebih dari 75 ribu sopir taksi yang tersebar di berbagai negara di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam.
Keberhasilan Grab merambah negara-negara itu bukan hanya karena layanan transportasi, tapi juga pengembangan teknologi dan berbagai fitur yang ditawarkan untuk pelanggan. Salah satu pengembangan yang paling populer di Indonesia adalah Grab Now, yang mengadaptasi kebiasaan pelangan di Indonesia memanggil ojek.
Lewat Grab Now kebiasaan itu tetap ada namun diberi sentuhan teknologi. Selain itu, pengguna juga memperoleh kepastian tarif, jarak tempuh, hingga metode pembayaran digital.
Selain inovasi yang berbau kearifan lokal, Grab juga mengadopsi teknologi Uber ketika perusahaan itu diakuisisi.
Salah satu fitur yang mereka adopsi dari Uber adalah fitur untuk mengubah rute ketika perjalanan sudah dilakukan. Fitur Change Destination ini membuat konsumen bisa mengubah tempat tujuan saat di perjalanan - satu fitur yang juga demikian populer di Indonesia.
Selain itu, dari sisi keamanan, Grab juga memiliki sistem yang dinamakan Grab Defense, yang diluncurkan pertama kali di Indonesia.
Dengan sistem ini, para mitra strategis Grab bisa memanfaatkan kemampuan basis data Grab untuk membaca perilaku kecurangan di lapangan. Grab Defense sendiri didasari oleh machine learning yang menganalisis jutaan data secara real-time untuk mendeteksi pola kecurangan.
Hal ini membuat Grab Defense bisa mempelajari pola sehingga bisa selangkah lebih maju dari pelaku kejahatan.
Tentu bukan hanya kenyamanan mitra saja yang menjadi salah satu fitur yang dikembangkan Grab, tapi juga keselamatan pelanggan.
Misalnya saja fitur tombol darurat (SOS). Fitur ini dapat digunakan dengan cara pelanggan memasukan tiga kontak darurat dalam aplikasinya.
Fitur ini sebagai pengingat otomatis yang dapat dinyalakan dan memberi informasi kepada kontak darurat saat mendeteksi perjalanan yang tidak biasa.
Fitur ini sebagai pengingat otomatis yang dapat dinyalakan dan memberi informasi kepada kontak darurat saat mendeteksi perjalanan yang tidak biasa.
Selain itu, ada juga fitur membagikan lokasi perjalanan yang membuat para penumpang dapat membagikan tautan yang terhubung pada perjalanannya bersama Grab kepada orang terdekat. Tautan ini akan menunjukkan perjalanan secara real-time.
16 Besar DuniaDari keberhasilan mereka ekspansi ke berbagai negara Asia Tenggara, kerajaan bisnis Grab tak terbendung. Dari semula aplikasi layanan transportasi, Grab kini menjelma menjadi Super App yang menawarkan solusi mulai dari layanan transportasi, pengiriman barang, pemesanan makanan, pembayaran mobile dan hiburan digital.
Mereka mencatatkan tonggak pencapaian selanjutnya dengan meraih status decacorn pada awal 2019. Ini tentu raihan yang tak main-main karena Grab menjadi perusahaan rintisan (start-up) pertama dari Asia Tenggara yang berhasil merebut status itu.
Saat ini, di seluruh dunia hanya terdapat 16 perusahaan decacorn, sementara pada satu kasta di bawahnya, terdapat sekitar 300 perusahaan yang mengekor dengan status unicorn.
Pada level decacorn, grab bersanding dengan perusahaan-perusahaan ternama lain di dunia seperti Uber, AirBnb, Lyft, Space X hingga Pinterest dengan keberhasilannya
Decacorn sendiri merupakan terminologi yang digunakan untuk perusahaan dengan valuasi US$10 miliar. Dengan kata lain, perusahaan yang menyandang 10 kali unicorn naik kasta dengan status sebagai decacorn.
Grab naik ke level decacorn setelah akhir tahun lalu mengantongi pendanaan Rp70,71 triliun (US$5,05 miliar) sehingga total valuasi (nilai perusahaan) mencapai lebih dari US$11 miliar (Rp158,6 triliun).
President of Grab Indonesia, Ridzki Kramadibrata, mengatakan bahwa status decacorn tidak akan mengubah fokus mereka di Indonesia, yaitu memberdayakan micro-entrepreneurs. Ridzki menyebut saat ini Grab telah menggandeng lebih dari lima juta micro-entrepreneurs di Indonesia.
"Micro-enterpreneurs itu di platform kami merupakan mitra pengemudi, mitra pengusaha. Juga kemudian ada di platform, baik itu platform Grab maupun platform Kudo (yang sudah diakusisi Grab)," kata Mediko Azwar saat diwawancarai CNNIndonesia TV beberapa waktu lalu.
"Ke depannya juga kami ingin menggandakan jumlah micro-entrepreneurs yang ada. Bagaimana caranya? Kami menggunakan Grab platform, kami menyediakan satu platform yang bisa menjadi satu wadah bagi startup baru, yang bisa memberikan satu fungsi juga yang berguna bagi masyarakat maupun komunitas di Indonesia."
Sementara strategi jangka panjang Grab juga tidak akan berubah yaitu terus mengaplikasikan segala strategi yang sudah ditentukan sebagai aplikasi everyday super-app. Bukan hanya di bidang transportasi, tapi juga di bidang lain seperti layanan makanan, pengantaran, hiburan, penyediaan tiket bahkan kesehatan.
Dalam layanan kesehatan, Grab sudah bekerja sama dengan Ping An Good Doctor, perusahaan asal China yang memiliki valuasi US$2 miliar dan memiliki 200 juta pengguna.
Ping An Good Doctor mengandalkan teknologi kecerdasan buatan (AI) pengugna bisa mendapatkan konsultasi medis secara online, jasa pengantaran obat, hingga membuat janji konsultasi dengan dokter melalui aplikasi Grab.
Selain masalah suntikan investasi, bisnis Grab juga disebut CEO Grab, Anthony Tan, mulai mencetak keuntungan di beberapa pasar yang lebih mapan di Asia Tenggara. Selain itu, ia juga menyebut pendapatan Grab juga meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Sehingga menurutnya, Grab tengah ada di posisi yang sangat baik.
"Kami berada posisi yang sangat, sangat baik," kata Tan.
Grab sendiri dalam waktu dekat tampaknya belum akan melakukan IPO atau mengambil dana dari publik sebagai salah satu opsi pendanaan. Namun, pengembangan kapital serta layanan dari Grab akan menjadi fokus yang dilakukan perusahaan tersebut pada tahun 2019.
(vws)