Jakarta, CNN Indonesia -- Nama Enzo Zenz Allie mencuat ketika
video ia merespons sejumlah pertanyaan Panglima TNI dalam bahasa Prancis menjadi
viral di
media sosial. Keduanya berbincang dalam bahasa Prancis ketika Enzo dinyatakan lulus Akademi Militer Taruna di Magelang.
Video yang viral ini lantas menggelitik seorang netizen untuk menggali media sosial pemuda itu. Akun
@JawiDwipa malah lebih jauh menilik hingga akun media sosial ibu Enzo, Hadiati Basjuni Allie.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari penelisikan histori media sosial Enzo dan Hadiati, keduanya dianggap sebagai simpatisan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sudah dibubarkan pemerintah. Hal ini terindikasi dari foto profil Enzo dan Hadiati yang tengah membawa panji organisasi tersebut.
Pihak TNI pun bereaksi dengan menurunkan BAIS (Badan Intelijen Strategis) TNI untuk mendalami masalah ini. Hingga akhirnya keluar keputusan untuk mempertahankan pemuda blasteran Sunda-Prancis ini karena dianggap memenuhi seluruh syarat menjadi taruna Akmil.
Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa menyatakan Enzo lulus tes keberagaman. Analisis moderasi keberagamaan Enzo mendapat nilai 84 persen dengan nilai 5,9 dari total 7.
Polemik ini membuat Enzo menghapus akun Facebook miliknya. Sementara Hadiati melindungi akun Facebook miliknya dari publik.
Namun, akun Facebook Ulin Ni'am Yusron menyebut langkah ini percuma. "Semua jejak digital ibu dan anak itu sudah menyebar di jagad internet," tuturnya dalam akun Facebook miliknya.
Jejak digital sulit dihapusPakar Keamanan Siber dan Media Sosial Kun Arief menyebut jejak digital memang sulit untuk dihapus. Meski pengguna telah menghapus konten yang dimaksud, namun jejak dari konten tersebut masih tersimpan pada
cache mesin pencari.
"Jejak digital sangat sulit untuk dihapus. Hal ini disebabkan hampir semua mesin pencari (misal, Google, Yahoo, dll) memiliki
engine berupa '
cache browser' yang bertujuan untuk efisiensi pencarian," jelas Kun ketika dihubungi, Selasa (13/8).
Cache ini menurut Kun memang ada di peramban agar mereka bisa memberikan hasil pencarian yang lebih cepat. Sehingga, ketika pengguna melakukan pencarian terhadap suatu kata kunci tidak perlu melakukan pengaisan kembali. Tapi cukup mengambil cache yang sudah tersimpan.
"Pengguna umum atau biasa, sangat sulit untuk menghindari agar "jejak digital"-nya tidak tampak. Karena
browser dan
search engine (mesin pencari) yang tidak melakukan
caching sangat sedikit diketahui oleh khalayak," tuturnya lagi.
Hal serupa diungkap pengamat keamanan siber lainnya dari Vaksin.com, Alfons Tanujaya.
"Jejak digital itu sebenarnya sesuatu yang sangat sulit dihilangkan. Ada pameo berkata: sekali suatu informasi ditampilkan secara digital, ia akan ada disana selamanya."
Ia mencontohkan jika seseorang tidak sengaja telah mengeposkan gambar tidak senonoh dan lekas dihapus, besar kemungkinan gambar itu sudah terekam.
"Secara teknis di server penyedia layanan tercatat apa yang pernah tampil sekalipun sudah dihapus. Belum lagi layanan lain atau follower yang kebetulan melihat
posting-an mengakibatkan informasi yang ditampilkan khususnya di medsos itu dapat dipastikan sudah ada yang menyimpan," jelasnya.
Halaman berikutnya: makin sering pakai internet, jejak digital makin banyak, dan sulit dihilangkan
[Gambas:Video CNN]
Alfons Tanujaya mengatakan jejak digital seseorang akan bertambah banyak jika ia aktif menggunakan internet. Sebab setiap kegiatan pengguna internet pasti akan tercatat.
Jejak digital sebenarnya bukan hal yang perlu dikhawatirkan karena dimiliki oleh semua orang yang pernah mengakses internet.
Di satu sisi, jejak digital berpengaruh positif karena catatan aktivitas pengguna terlacak secara mendetail. Bahkan ketika pemilik sudah menghapusnya, konten yang pernah diunggah melalui media sosial atau situs internet akan tetap ada.
Namun, pengaruh negatifnya lantaran konten itu bisa diambil dan diedit hingga bebas dimanipulasi oleh pengguna internet lainnya.
Jejak yang disadari dan tidakAlfons juga menjelaskan bahwa ada jejak digital yang disadari dan tidak. Untuk itu, Alfons mengimbau pengguna internet untuk berhati-hati menampilkan sesuatu di media sosial dan internet. Mengingat konten apapun akan selalu ada dan tercatat tanpa bisa dihapus begitu saja
"Kalau yang disadari itu misalnya
posting di Facebook, Tweet, Instagram, email/Mailing List, Whatsapp
broadcast (siaran), dan sebagainya," jelasnya.
Sementara jejak digital yang tak disadari misalnya foto yang tertangkap oleh orang lain. Komentar yang pernah diposkan di konten orang lain tapi pengguna lupa.
 Tiap tindakan di dunia maya menyimpan data jejak digital (CNN Indonesia/Mundri Winanto) |
Kun lantas mencontohkan kasus yang menimpa seorang dokter terkenal di Bandung. Ia mengeposkan konten soal kasus 22 Mei di Facebook.
"Meskipun dengan segera
postingan tersebut dihapus olehnya, tetapi apa yg dia unggah telah tersebar di berbagai macam media sosial. Jejak digital dari unggahan tersebut mengarah ke dokter itu, meskipun laman di Faceboknya sudah dihapus," tuturnya.
Disamping itu, Alfons juga menjelaskan bahwa jejak digital juga bisa terekam dalam bentuk lain. Misalnya kebiasaan belanja, konsumsi yang terekam di
e-commerce.
"(Hingga) rekaman penggunaan layanan online seperti Gojek, Gocar dan sejenisnya,
record lain seperti pinjaman
online, pinjaman bank," paparnya.
Penyimpanan jejak digital lain yang mungkin tidak disadari pengguna menurut Kun adalah fitur pengunggahan otomatis dari
smartphone pengguna. Fitur ini biasanya berupa pengunggahan otomatis foto di
cloud penyedia layanan, seperti Google Drive atau iCloud.
Situs
Tech Terms menyebut, jejak digital memang terbagi jadi jejak digital aktif dan pasif. Jejak digital aktif merupakan data yang sengaja dibagikan oleh pengguna internet dengan harapan bisa dilihat atau disimpan oleh orang lain. Semakin banyak data atau informasi yang dibagikan, maka semakin banyak jejak digital yang bisa dilihat atau disimpan oleh orang lain.
Sementara jejak pasif merupakan data yang tanpa sadar telah ditinggalkan oleh pengguna internet termasuk riwayat penelusuran web hingga alamat IP. Sebagai contoh alamat IP yang akan mengenali penyedia layanan internet (
internet service provider/ ISP) hingga lokasi ketika Anda mengakses situs web.
Sadar jejak digitalUntuk itu, Kun mengingatkan pengguna internet harus memahami dan menyadari bahwa penggunaan jaringan internet bukan berarti bebas yang "tanpa data catatan".
"Catatan tersebut terdapat mulai dari penyedia layanan internetnya (ISP), operator telekomunikasi, hingga ke penyedia aplikasi yg digunakan tersebut. Misal, aplikasi
browser atau aplikasi medsos," jelasnya.
Penyimpanan jejak digital bahkan bisa melebar ke penyimpanan perangkat atau aplikasi pihak ketiga jika konten tersebut disimpan oleh pengguna lain.
Untuk itu, Kun menyarankan agar pengguna tidak menyimpan data, file penting dan sensitif, di dalam
smartphone. Ia juga meminta pengguna agar bijak menggunakan fasilitas penyimpanan awan (
cloud) yang banyak ditawarkan.
"Jangan aktifkan penyimpanan otomatis di media penyimpanan cloud," tambah Kun.
Selain itu, pengamat media sosial Enda Nasution juga mengingatkan agar pengguna internet sadar dan berhati-hati.
"Apapun yg kita
posting ke media sosial akan ada konsekuensinya. Kalau tidak sekarang mungkin di masa datang. Apa yang kita pernah tulis, like,
upload (unggah) di media sosial akan selalu bisa menghantui kita."