Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (
ELSAM) membeberkan empat 'aktor' untuk menjaga
keamanan siber di Indonesia. Keempat penjaga tersebut adalah pemerintah, masyarakat, akademisi, dan korporasi.
Peneliti ELSAM, Miftah Fadhli mengatakan beban keamanan siber tersebut tidak dapat dibebankan kepada pemerintah saja.
"Karena pada kenyataannya kalau kita bicara soal pengembangan inovasi dan teknologi itu justru korporasi yang paling banyak berperan. Saya menekankan pada empat aktor itu karena mereka punya peran masing-masing," kata Miftah saat ditemui usai diskusi Indonesia Internet Governance, di Jakarta, Rabu (9/10).
Pemerintah, kata Miftah, memiliki peran utama untuk meramu sebuah regulasi melalui pembahasan komprehensif agar bisa mengatur dunia siber.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemerintah di bidang regulasi yang memberikan mandat pelaksanaan, tugas, wewenang, distribusi peran setiap aktor ini apa saja. Itu kewenangan regulasi hanya ada di pemerintah," kata Miftah.
Kedua adalah korporasi. Miftah mengatakan dunia digital khususnya ekonomi digital dijalankan oleh korporasi. Korporasi mengetahui dari segi teknis tentang perkembangan teknologi yang berubah dengan cepat.
"Kemudian pengembangan-pengembangan teknologi seperti apa, yang akan terjadi pada masa depan dan cara menghadapinya itu korporasi yang tahu karena mereka yang terus update soal itu," ujarnya.
Keempat adalah masyarakat sipil. Masyarakat sipil ini tidak terbatas hanya kepada organisasi masyarakat, tapi lebih ke arah masyarakat sebagai pengguna teknologi. Segala data-data aktivitas pengguna dikelola dalam big data. Data-data ini digunakan oleh korporasi untuk mengembangkan aplikasi dan teknologi digital.
"Jadi pengguna punya hak secara otomatis untuk tahu dan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan keamanan siber," kata Miftah.
Aktor keempat adalah akademisi. Akademisi berperan untuk membuat standar sertifikasi para petugas keamanan siber. Ia mengatakan akademisi yang seharusnya membuat standardisasi ini.
"Untuk sertifikasi itu kan butuh standar-standar akademis untuk menilai sejauh mana seseorang bisa dianggap layak untuk menjaga data sebagai petugas proteksi. Atau menjadi profesional dalam konteks penyusunan mitigasi siber," katanya.
(jnp/age)