Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Laboratorium Rekayasa Genetika Terapan dan Protein Desain Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wien Kusharyoto menyatakan
reverse transcription-polymerase chain reaction (
RT-PCR) memiliki perbedaan sensitivitas. Dia mengatakan hal itu akibat pemilihan gen target pada virus yang akan diamplifikasi.
"Sensitivitas test RT-PCR tergantung pada pemilihan gen target pada virus yang akan diamplifikasi (diperbanyak dengan PCR)," ujar Wien kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (14/5).
Wien menuturkan perbedaan sensitivitas juga dipengaruhi desain primer yang digunakan untuk amplifikasi. Dia menyebut enzim yang digunakan dan komposisi reagen untuk RT-PCR juga akan berpengaruh terhadap sensitivitas tes PCR.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, Wein membenarkan tes dalam jumlah yang memadai dengan cakupan yang luas merupakan cara terbaik untuk dapat menelusuri infeksi
virus corona SARS-CoV-2 dan kemudian membatasinya. Dia berkata hal itu dilakukan mengingat vaksin dan obat yang tepat untuk Covid-19 belum diperoleh.
"Tanpa tes dalam jumlah yang memadai kita sulit memastikan kapan sebaiknya PSBB dapat diperlonggar atau dicabut kembali," ujarnya.
Adapun untuk metode tes yang sebaiknya dilakukan, dia menyarankan pemerintah menggunakan RT-PCR dengan kombinasi Tes Cepat Molekuler (TCM). Dia menilai dua metode itu lebih sensitif untuk mendeteksi keberadaan virus pada seseorang.
"Tes yang digunakan lebih baik tetap RT-PCR yang dapat dikombinasikan dengan TCM," ujar Wien.
Di sisi lain, Wien menilai tes yang dikembangkan oleh Institut Walter and Eliza Hall bertujuan untuk mendeteksi antibodi pada pasien yang pernah terinfeksi patogen, dalam hal ini malaria dengan berbasis pada pengikatan protein-protein virus.
Dia berkata tes tersebut lebih tepat digunakan untuk mendeteksi apakah seseorang pernah, -atau mungkin juga kapan terinfeksi patogen tersebut. Prinsip deteksinya mirip rapid test, namun antigen, dalam hal ini protein atau fragmen protein dari patogen yang digunakan bermacam-macam.
"Metode tersebut dapat diaplikasikan pula untuk mendeteksi apakah seseorang pernah terinfeksi SARS-CoV-2 atau tidak, meskipun virusnya mungkin telah tereliminasi dari tubuhnya," ujarnya.
Lebih dari itu, dia mengatakan antibodi dalam tubuh pasien untuk kasus SARS-CoV-1 biasanya sudah sangat berkurang setelah 2 hingga 3 hari pasca infeksi.
"Namun pada beberapa pasien masih ditemukan sisa-sisa antibodi setelah 8 tahun pasca infeksi," ujar Wien.
(jps/dal)
[Gambas:Video CNN]