Corona Amerika Selatan Melejit, Iklim Tropis Tak Berpengaruh

CNN Indonesia
Sabtu, 23 Mei 2020 15:25 WIB
A father with his children wearing face mask to prevent the coronavirus go for a walk at Carlos III promenade, in Pamplona, northern Spain, Sunday, April 27, 2020. On Sunday, children under 14 years old will be allowed to take walks with a parent for up to one hour and within one kilometer from home, ending six weeks of compete seclusion. (AP Photo/Alvaro Barrientos)
Ilustrasi bermasker. (AP/Alvaro Barrientos)
Jakarta, CNN Indonesia -- Amerika Selatan disebut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai episentrum baru pandemi virus corona di dunia. Banyak pertanyaan muncul mengenai hal tersebut, terlebih Amerika Selatan memiliki iklim tropis yang disebut mampu menangkal Covid-19.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan penelitian terbaru telah menyimpulkan bahwa iklim tropis tidak berkaitan dengan penekanan laju penyebaran virus corona.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo hingga Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan Indonesia beruntung karena memiliki iklim tropis. Nyatanya, Amerika Selatan dinobatkan oleh WHO sebagai episentrum baru Covid-19 menyusul lonjakan infeksi di sana.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Penelitian terbaru telah menyimpulkan bahwa tidak ada kaitannya antara negara tropis atau suhu panas dengan penekanan laju penyebaran Covid-19. Malah mungkin bisa jadi lebih cepat bilamana kelembapannya tinggi," kata Peneliti Bidang Kimia LIPI Joddy Arya Laksmono kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (23/5).

Joddy mengatakan faktor kelembaban juga berperan dalam laju penyebaran Covid-19. Ia mengatakan udara kering akibat kelembapan rendah di musim dingin membuat virus mudah untuk menyebar.

Sementara kelembaban tinggi, membuat penyebaran virus melambat karena membuat droplet cepat jatuh ke darat lebih cepat sehingga membatasi penyebaran melalui udara.

"Dari sisi transportasi memang kelembapan tinggi menekan penyebaran virus. Tapi kalau dari sisi pertumbuhan [reproduksi] virus pada kondisi kelembaban tinggi lebih cepat secara eksponensial dibanding udara kering," ujar Joddy.

Terpisah, Ahli Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan pemerintah Brasil sebagai negara dengan iklim tropis dan sub tropis, dari awal cenderung menyangkal potensi pandemi Covid-19 yang dapat membuat sistem kesehatan lumpuh dan akhirnya memakan ribuan korban jiwa.

"Sebagian masyarakatnya tidak peduli dengan jaga jarak dan pencegahan lainnya. Dalam waktu seminggu posisi Brasil sudah naik jadi ranking kedua negara dengan kasus Covid-19 terbanyak di dunia. Layanan kesehatan tidak mampu menampung jumlah pasien yang melonjak drastis. Sehari kemarin saja kasus barunya berjumlah 20 ribu," ujar Dicky.

Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Pengelolaan Penelitian Kimia LIPI, Akhmad Darmawan mengatakan penyebaran virus Covid-19 akan semakin banyak meski di negara dengan kondisi temperatur dengan kelembaban tinggi.

"Penularan virus tetap bisa terjadi jika virus tidak terpapar udara panas dalam waktu lama, dan jika kehidupan manusianya lebih banyak berlindung atau hidup di kondisi ruangan C (kelembapan rendah), maka penyebaran lebih banyak karena kondisi tersebut" ujar Akhmad.

"Walaupun virus yang terpapar pada permukaan atau benda yang terpapar lama sinar matahari dan suhu serta kelembaban tinggi akan mudah mati," tambahnya.


Protokol kesehatan juga wajib diikuti negara beriklim tropis

Dilansir dari Washington Post, musim panas memang bisa menghambat penyebaran bukan menghentikan penyebaran Covid-19.

Para ahli menyatakan setiap manfaat dari kondisi musim panas akan sia-sia apabila orang secara keliru percaya bahwa virus tidak dapat menyebar dalam cuaca tropis, sehingga meninggalkan protokol kesehatan seperti jarak sosial dan pemakaian masker.

"Cara terbaik untuk memikirkan cuaca adalah sebagai faktor sekunder di sini," kata Asisten Profesor di Harvard Medical School, Mohammad Jalali.

Patut dicatat, orang masih dapat menularkan virus melalui interaksi pribadi yang dekat dalam kondisi apa pun, baik di bawah sinar matahari atau hujan.

Gambaran global mengungkapkan bahwa Covid-19 mampu menyebar di negara dengan iklim tropis. Negara-negara dengan cuaca hangat, termasuk Singapura, Indonesia, Brasil, dan Ekuador, mengalami penyebaran virus yang signifikan.

Jumlah korban baru virus corona di Brasil melampaui 20 ribu pada hari Kamis (21/5), setelah rekor jumlah kematian dalam periode 24 jam, kata kementerian kesehatan.

Jumlah korban pada hari itu 1.188, menjadi yang tertinggi per hari sehingga mendorong angka kematian keseluruhan menjadi 20.047.

"Kondisi lingkungan hanyalah satu elemen lagi dari persamaan, dan bukan yang paling relevan. Covid-19 menyebar dengan ganas ke seluruh dunia, dalam segala kondisi cuaca," Kepala Ahli Meteorologi Spanyol, Tomas Molina.

Penelitian pracetak (preprint) yang belum ditinjau oleh peneliti medis lainnya (peer-reviewed) oleh Harvard Medical School keterkaitan kondisi cuaca, kelembapan, hingga curah hujan dengan penyebaran Covid-19. Penelitian dilakukan di 3.739 lokasi di seluruh dunia.

Hasil penelitian menunjukkan suhu rata-rata di atas 77 derajat Fahrenheit atau 25 derajat Celsius berkaitan dengan pengurangan penularan virus. Setiap kenaikan suhu sebanyak 1 derajat Celsius akan mengurangi penyebaran virus sebanyak 3,1 persen.

Efek negatif dari temperatur di atas 25 derajat terhadap penekanan penyebaran semakin kuat dengan tingginya tingkat kelembaban. Penelitian mencatat peningkatan 10 persen kelembaban relatif membuat penyebaran virus menurun dengan tambahan 1,2 persen untuk setiap kenaikan suhu sebanyak 1 derajat Celsius.

Artinya tingkat penurunan penyebaran virus Covid-19 meningkat lebih dari 2,5 kali lipat akibat kenaikan kelembapan.

Dilansir dari New York Times, cuaca hangat atau panas tak akan bisa mengendalikan virus di seluruh dunia karena masih berkaitan juga dengan kelembaban.



Tanpa jarak sosial dan intervensi lain, musim panas hanya akan memberikan sia-sia. Dalam artian kebijakan pembatasan aktivitas di luar rumah harus berlanjut untuk menekan penyebaran Covid-19.

"Pada akhirnya, seluruh efek dari cuaca dan polusi ini masih sangat kecil," kata Jalali yang juga merupakan salah satu penulis penelitian.

(jnp/ard)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER